Anila menatap sejenak kotak sampah di depan langkahnya. Tetapi, tiba-tiba Ia merasa ada yang aneh.
Saat Anila berniat mengintai sekitar, ternyata itu, tangannya. Tangannya mulai menghilang.
"Oh, Tidak! Bukankah ini belum waktunya? Ini masih siang, dan matahari masih terik di atas," kata Anila terkejut.
Dengan sigap, dirinya menutupi tangannya di depan, membawanya berlari,
"Tasku!" Anila mengambil tasnya saat melewati kelas, membawanya masuk ke kamar mandi.
Banyak siswa menatap heran, sikapnya sungguh tak biasa bagi mereka.
Anila menutup pintu, dia harus mengerti apa yang harus segera dia lakukan. Mencoret asal pada buku 'Mereya' itu. Sesegera mungkin, sebelum seluruh tubuhnya benar-benar raib.
"Apa kalian melihat Anila?" tanya salah satu siswa pada murid yang berlalu-lalang.
"Dia masuk ke kamar mandi, sebelah sana, sepertinya."
"Terima kasih," ucapnya.
"Anila! Apakah kamu di dalam? Dirimu menang lomba solo song, juara ke 3, dan sekarang diminta untuk maju ke podium," teriak siswa itu dari luar kamar mandi.
"Iya, duluan aja, ntar aku nyusul."
"Aku disuruh kesana, bawa kamu."
"Aku bilang duluan aja!" Anila meninggikan suaranya.
"Ini anak kenapa sih? Malah marah-marah ga jelas– Ayo Anila! Segera!" Anak yang memanggil Anila pergi.
Awan tiba-tiba mendung, cuaca menjadi gelap seketika. Beberapa waktu, mengapa tidak terdengar suara apa pun dari dalam kamar mandi? Siswa itu sedari tadi sudah meneriakinya dan ketakutan berada di depan kamar mandi sendirian.
"Anila, ayo segera!" teriaknya lagi.
"Anila! Anila?!"
Krieett!
Pintu kamar mandi terbuka sendiri, siswa tadi tercengang. Tidak ada siapapun di sana. Lantas? Sedari tadi dia bicara dengan siapa?
"Hantu....!!" pekik siswa tadi, sembari berlari terbirit-birit. Tersengal-sengal, ketakutan.
彡
"Nek, mengapa tadi tubuh Anila sudah ingin menghilang menjadi angin? Padahal inikan masih jam 12 siang di sana?" Anila mengusap peluh, mendesah kesal.
"Oh, tidak. Buruk, ini sangat buruk..." jawab Nenek cemas.
Baku dan Tak-baku merasa sangat bahagia dengan kehadiran Anila, mereka tidak peduli bahwa Anila pergi ke sana bukan untuk bersenang-senang.
Yang terpenting seorang 'Kak Anila' baginya telah datang, mereka bahkan duduk menggelayuti kaki kursi; tempat Anila duduk, mereka bertengkar di sebelah kanan dan kiri Anila.
"Ruh Dewi angin semakin menguasai jiwamu, itu membuat waktumu semakin hari semakin sempit. Jika, kemarin kamu berubah menjadi angin sebelum matahari terbenam. Bisa jadi, setiap hari waktu berubahmu itu dipotong 1 jam. Sehingga, semua akan mempercepat dirimu untuk berubah menjadi angin." Nenek melanjutkan penjelasannya.
Anila menggigiti bibirnya, wajahnya pucat pasi. Mengapa semuanya menjadi semakin rumit seperti ini?
"Lantas? Aku harus apa, Nek?– Bisa jadi arwah diriku nanti di dunia nyata," Anila mengerutkan dahinya, "Aaaaa..." Tangannya tertelungkup menutupi wajahnya yang hendak menangis dan tampak sangat menyesal.
"Jika dibiarkan terus menerus, semua ini akan menguasai jiwamu, dan..." Nenek tersenyum masygul "–terpaksa jiwamu akan menghilang seiring waktu," tambahnya.
Baku dan Tak-baku malah sibuk bercanda. Mengatakan bahwa Anila akan segera debut menjadi Dewi angin berikutnya, dan Dewi yang angkuh itu, segera di tendang saja dari Alam buku.
"Hihihi...Hihi..." tawa mereka cekikikan. Dari bawah kaki kursi Anila.
Anila membuka tangannya sedikit, tidak membangkitkan wajahnya.
"Tapi di sini? Mengapa aku biasa saja, Nek? Mengapa aku di sini masih bisa melihat diriku?"