Deg!
Matanya kembali terbuka. Anila tersadar, dan dia mengerti sekarang. Semuanya tampaknya lebih mudah dari yang dia bayangkan.
Menemukan orang? Memasuki orang tersebut? Itu sangat mudah bukan? Intinya, yang terpenting adalah dia harus selalu berada dalam keramaian orang-orang. Harus selalu berada di sisi seseorang untuk menjaganya tetap menjadi manusia.
"Yas!" Anila mengepalkan tangannya, memasukkan buku 'Mereya' itu kembali ke dalam tas. Sekarang dia tahu bagaimana caranya berubah dari angin menjadi manusia tanpa harus bolak-balik dari Alam buku. Yaitu, menumpang jiwa ke manusia lain, memasukinya.
Buku itu banyak membantunya, saat Anila menuliskan '3A' di atasnya. Anila selalu menemukan jawaban atas apa yang dipikirkannya, begitupun dengan detik ini.
Babak kedua pertandingan bola basket telah usai. Aldrich memang menang babak pertama, babak kedua team-nya kalah.
Bukan sebab kemampuannya berkurang. Team SMA Alegars bermain dengan tidak sportif. Mereka menggunakan kecurangan, mengeluarkan satu-persatu anggota terbaik team Aldrich. Sehingga harus digantikan dengan pemain berkemampuan standart.
"SIAL!" Aldrich mendengus marah.
"Kita lihat, dibabak ke tiga!"
Babak 3 berlangsung sengit. Beberapa kali team lawan berusaha merebut bola dari Aldrich, dan selalu gagal. Aldrich berhasil memasukkan bola untuk ke-lima kalinya. Team SMA Alegars saling tatap. Sepertinya mereka sedang merencanakan sesuatu, salah satu di antara mereka mengangguk dan berlari, mengejar laju bola yang dibawa Aldrich.
Brugh!
"Arrgh!" Aldrich tersungkur. Tubuhnya terjatuh miring, menindih tangan kanan utamanya.
"Au! Au! Aldrich mengerang kesakitan, berguling-guling di ubin aula permainan.
Pemandu acara, dengan sigap menyiarkan seluruh kejadian yang berlangsung.
"Oh, tidak! Sang Pemain utama, Aldrich terjatuh!" teriaknya.
"CURANG! ITU CURANG!" teriak para penggemar Aldrich tidak mau kalah.
Mereka hingga berdiri mengepalkan tangan dengan muka marah.
Baru saja, Anila merasa lebih tenang. Tadinya, ia hendak merebahkan kepalanya di meja untuk terlelap sebentar. Mendengar riuhnya suara dan pemandu acara berteriak demikian. Anila kembali duduk siap.
"Aldirch? Kenapa dia?" ucap Anila, berusaha untuk tidak perduli.
"Ah, tidak! Dia–" Anila mendorong kursinya mundur, "Aish!" berlari menuju aula.
Dari kegaduhan yang terjadi akibat tidak terima. Dari bersamaan datangnya cahaya matahari yang mulai turun. Anila berdiri di ambang pintu Aula. Menutupi sebagian cahaya matahari yang menyinari wajah Aldrich, merasakan sakit.
Seketika, semua keributan berangsur hening.
Semua pandangan tertuju kepada Anila.
Erika yang melihat Aldrich seperti itu, dia adalah orang pertama yang membantunya untuk bangun. Walau beberapa kali Aldrich menolak. Tulang di tangannya sepertinya bergeser, akibat jatuhnya terlalu keras.
Aldrich masih terus menggulung debu pada dirinya, saat Anila masuk, dirinya berusaha untuk tidak tampak sakit atau malu sekali dia di hadapan wanita itu. Begitu baginya.
Aldrich menangkis tangan Erika dan berdiri sendiri dengan patah-patah memegangi bahunya.
"Lagi-lagi, mereka menatapku seperti itu. Tidak wajar!" batin Anila, melangkah masuk.
"Maaf, menganggu, mengalihkan perhatian..."
Semua anak menggeleng, mereka seperti robot patung yang diam di tempat.
"Oke, aku akan pergi saja...." pamit Anila dengan mengulum senyum.
"TIDAK!" Siswa-siswa laki-laki berteriak melarangnya.