"Kakak! Itu Ayar–" Candra menunjuk Ayar yang berada sedikit jauh dari posisi Anila berdiri. "–dan itu kakaknya, dia berniat memarahiku, makanya aku mengadu pada kakak dan meminta kakak kemari. Untung kakak datang walau terlambat sedikit," jelas Candra dengan nada manja, dan kedua tangannya memeluk erat pinggang Aldrich.
Ayar tak mau kalah. Dia ikut menghampiri Anila lantas juga memeluknya. Candra dan Ayar saling mendengus satu sama lain. Sifat anak-anak mereka masih sangat tampak walaupun di usia yang sudah delapan tahun. Itu adalah usia sifat anak SD paling imut.
"Jadi, kamu kakaknya gadis cantik ini?" Tangan Aldrich maju, mencubit pipi Ayar. Terpaut sebuah lesung pipi di wajah Ayar setelah Aldrich menarik kembali tangannya.
"Ya, apakah pria menggemaskan ini adalah pangeran kecilmu?" Anila mengikuti gaya Aldrich, menarik ke bawah topi yang digunakan Candra. Rambut tebalnya yang terlihat rapi, ikut tertarik ke bawah mata.
Candra mengaduh, lantas membenarkan kembali posisi topinya.
Aldrich mengajak Anila berbicara di suatu tempat agar lebih nyaman. Awalnya Anila menolak untuk pergi. Namun, Ayar memaksa agar sesekali ia ingin pergi jalan-jalan bersama kakaknya.
Sudah seperti biasanya, Anila tak pernah mampu untuk menolak permintaan Ayar. Akhirnya, mereka berempat memutuskan untuk pergi ke sebuah rumah makan.
"Kamu tadi ke sininya gimana? Jalan kaki–kah?" Aldrich bertanya kepada Anila.
Anila mengangguk.
"Ya iyalah, masak terbang. Aneh juga, sih, pertanyaannya," gumam Anila memutar bola matanya.
"Eh, tapi menurutku nggak sepenuhnya jalan kaki deh, aku lebih banyak berlari," batinnya senyum-senyum sendiri.
Mereka menaiki mobil Aldrich. Aldrich sempat kembali ke rumah tadi sebelum sampai ke sekolah Candra, motornya macet di tengah jalan. Lantas menggantinya dengan mengendarai mobil dan menjemput Candra. Itulah sebabnya dia datang terlambat, lebih lama dari pada Anila.
Mobilnya melesat cepat saat keluar dari gerbang sekolah.
"Bisa lebih cepat dari mobil ini malah," tambah Anila melanjutkan gumamnya tadi.
Anila dan Ayar duduk di belakang sedang Aldrich dan Candra di kursi depan. Setelah beberapa waktu menyusuri kota. Akhirnya mereka sampai di sebuah rumah makan yang di konsep luar ruangan.
Rumah makan itu sangat asri dan banyak sport foto yang sengaja dibuat agar tampak kekinian dan Instagramable.
"Wahh tempatnya bagus," puji Ayar, saat berjalan memasuki rumah makan itu.
"Ini belum ada apa-apanya, dari pada rumah kami," Candra menyeloroh ucapan Ayar.
Aldrich memundurkan sebuah kursi untuk Anila duduk.
Mereka duduk di bawah mimbar dengan kursi rotan yang dirajut. Angin bertiup lirih.
Setelah tampak tenang. Aldrich membuka suasana.
"Candra dengar, kakak. Kamu tidak boleh berkata demikian kepada temanmu tadi. Itu termasuk ria. Bukankah kamu kemarin bercerita kepada kakak kalau kamu temannya Ayar? Ya kalau teman berarti nggak boleh bersikap sombong seperti tadi yang kamu katakan. Terlebih, sampai mendorong kak Anila tadi waktu di sekolahan. Itu tidak sopan, ya," jelas Aldrich, menasehati adiknya dengan nada yang begitu halus sambil mengelus rambut adiknya pelan.
Candra sangat menerima nasehat Kakaknya itu. Kakaknya memang selalu bersikap dewasa dan mendidiknya dengan baik selama orang tua mereka masih sibuk bekerja di luar kota.
Candra mengangguk mantap.
"Maafkan Candra, ya... Ayar, Kak Anila," pintanya seperti sangat menyesal.
Ayar tersenyum manis, mengangguk memberikan isyarat "tidak papa, itu tidak lebih menyakitkan daripada ucapan kak Anala,"– begitulah raut wajahnya demikian, dengan ucapan di dalam hati. Ia mengakhirkan senyum mengemaskan.
Candra mencuri pandang, ikut mengulum senyumnya saat Ayar memasang wajah menggemaskan.
Beberapa pelayan rumah makan itu datang dan menawarkan menu kepada Aldrich.
Bukannya memesan makanan Aldrich malah menyuruh Anila untuk memilihkannya.
"Mengapa harus aku? Akukan tidak tahu apa yang kamu suka. Aku tidak tahu seleramu bagaimana," pungkas Anila.
"Aku pria yang gak suka ribet. Aku suka makan apa pun, yang penting makan. Jadi, aku ingin memakan apa yang kamu pilihkan, sekarang."
Pelayan rumah makan itu berpindah menuju bangku Anila. Ia berkata "Mau pesan yang mana, Mbak? Bisa dilihat dulu, ini menunya." sembari menyodorkan daftar nenu.
Anila mengamati makanan itu. Menurutnya, harga makanan itu tidak wajar.
"Ini di rumah makan biasa, bahkan di luar ruangan. Bagaimana harganya bisa lebih mahal daripada uang jatah makanku selama lima hari bersekolah?"
Anila melihat daftar menu makanan. Beberapa menu seperti nasi goreng dibandrol dengan 100 ribu rupiah.
"Bukankah ini terlalu mahal?" lontar Anila, meletakkan kembali menu yang dipegangnya.
"Tidak papa, pilih saja empat untuk kita dan pilih minumannya juga,"
"Mengapa kita tidak makan di rumah makan yang biasa saja?" Anila masih merasa sayang akan pembayarannya.
"Memang, menurutmu ini bukan rumah makan biasa? Apa ini termasuk rumah makan yang luar biasa?" ucap Aldrich yang tampaknya tidak terlalu menganggap serius ucapan Anila. Candra dan Ayar sibuk bercerita satu sama lain. Terlihat begitu asyik.
"Ya bukan begitu, masalahnya ini terlalu mahal. Lebih baik, kita cari rumah makan yang lebih murah dari ini. Kan, uang yang tersisa bisa kita berikan kepada orang-orang yang kelaparan di luar sana." Suara Anila terdengar ramah dan halus, nada ajunan saran yang tak seperti biasanya.
"Sudah, aku sengaja memilih tempat di sini supaya kamu tidak mengeluh, dan tidak terkesan menghina. Seperti yang ku tahu kau bukan seperti wanita biasa pada umumnya. Rata-rata dari mereka akan sangat menyukai hal-hal yang berbau kemahalan. Tetapi? Kamu? Mengenal sikapmu kemarin, dugaanku benar. Kau tidak terlalu perduli dengan uang." batin Aldrich senyap, berkutat dengan pikirannya. Sedari tadi tidak menghiraukan perkataan Anila.
"Hei! Aku bicara padamu!"
"Hah?" Aldirch menengok.
"Iya, pesan saja. Aku sudah sangat lapar. Masalah kalau nanti kita ketemu orang di luar sana. Belikan sekalian juga tidak apa-apa."
"Belikan?"
Aldrich sedikit mengangguk, wajahnya terlihat sangat santai menanggapi perkataan Anila barusan.
"Apa kamu tidak keberatan? Maaf ya, aku ... apa lebih baik kita langsung pulang saja,"
"Jangan, sudahlah, tidak usah. Baik, jika kamu tidak mau memesan, bawa kemari, biar aku saja yang memesannya." Aldrich menarik daftar menu itu dari tangan Anila. Lantas, mengatakan beberapa menu makanan yang kemudian membuat pelayan itu pergi dengan anggun.
"Kami akan segera kembali. Sibukkan dan hibur diri kalian dengan bisa berfoto-foto dulu di tempat ini." Pelayan itu menunduk, pergi.
"Terima kasih," tangkas Aldrich cepat.