Anima Terrae

Novian
Chapter #3

Kengerian di gudang

Arya menarik napas dalam-dalam sebelum menendang pintu gudang itu hingga terbuka dengan tendangan keras yang memekakkan telinga. Pintu berderit dan hancur sebagian, menggantung pada engselnya yang reyot.

Kegelapan menyambutnya, hanya diterangi oleh cahaya petir yang sesekali menyambar dari langit-langit gudang yang tinggi dan berdebu. Aroma karat, oli bekas, dan sesuatu yang amis dan memuakkan menguar di udara, membuat tenggorokannya tercekat.

"Bayu!" Arya memanggil dengan suara tertahan.

Pistolnya teracung ke depan, matanya menyipit mencoba menembus kegelapan. Dia mengaktifkan senter taktis yang terpasang di bawah laras pistolnya, mengubah kegelapan di depannya menjadi kerucut cahaya yang bergerak-gerak.

Tidak ada jawaban. Hanya suara tetesan air dari atap yang bocor dan derit tikus yang berlarian di antara tumpukan barang-barang bekas.

Dengan hati-hati, Arya melangkah lebih dalam, menyalakan senter kecil yang terpasang di pistolnya. Cahaya senter itu menyapu lantai gudang yang berdebu dan berantakan, dan Arya melihat tetesan darah segar yang membentuk jejak samar ke arah sudut ruangan. Jantungnya berdegup kencang. Firasat buruknya semakin kuat.

"Bayu...?" panggilnya lagi, kali ini suaranya lebih pelan, khawatir akan kehadiran orang lain di gudang tersebut. Dia tahu bahwa jika Bayu ditangkap, kemungkinan besar dia tidak sendirian.

Senter Arya akhirnya menangkap sosok yang terikat di sebuah kursi reyot di sudut ruangan. Itu Bayu atau setidaknya, itu yang Arya pikir adalah Bayu. Wajahnya babak belur dan nyaris tidak bisa dikenali, dengan luka-luka memar dan sobek di sekujur tubuhnya. Darah mengering, membasahi pakaiannya yang robek dan kotor. Beberapa bagian tubuhnya tampak... Berubah. Ada benjolan-benjolan aneh di bawah kulitnya, dan gerakan-gerakan kecil yang tidak wajar terlihat di beberapa bagian tubuhnya.

"Arya ...," suara lemah Bayu terdengar, diikuti oleh batuk yang mengeluarkan darah kental.

"Harusnya ... Kau tidak datang ...." Suaranya serak dan hampir tidak terdengar, seperti suara orang yang sekarat.

Arya bergegas menghampiri sahabatnya, tapi langkahnya terhenti ketika lampu-lampu gudang tiba-tiba menyala dengan suara berisik, menerangi ruangan dengan cahaya yang keras dan menyilaukan. Arya terpaksa menyipitkan matanya untuk menyesuaikan diri. Pemandangan yang terhampar di depannya membuat darahnya berdesir dan membeku di urat nadinya.

Di sekeliling mereka, belasan sosok manusia atau sesuatu yang dulunya adalah manusia berdiri dengan tatapan kosong dan gerakan-gerakan aneh. Kulit mereka pucat kebiruan dan mengkilap, seperti mayat yang baru dikeluarkan dari air. Urat-urat hitam tebal tampak menonjol di permukaan kulit mereka, berdenyut-denyut seperti cacing yang bergerak di bawah kulit. Beberapa dari mereka memiliki anggota tubuh tambahan yang tumbuh di tempat-tempat yang tidak seharusnya, mata tambahan di telapak tangan, mulut yang menganga di perut, bahkan jari-jari yang muncul dari leher dengan gerakan-gerakan menggeliat.

Pemandangan itu seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan, sebuah adegan dari film horor yang paling mengerikan. Arya, yang telah melihat banyak hal mengerikan dalam karirnya sebagai pasukan khusus, merasa mual dan hampir muntah. Ini bukan lagi kasus penculikan biasa. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

"Selamat datang, Tuan Arya." Sebuah suara tenang dan dingin terdengar dari pengeras suara tersembunyi di sudut ruangan. Suara itu tidak memiliki emosi, seperti suara komputer yang diprogram untuk berbicara.

"Kami sudah menunggu kedatangan Anda. Rekan Anda, Tuan Bayu, sangat kooperatif dalam .... Uji coba kami."

Arya menggenggam pistolnya lebih erat, punggungnya kini menempel pada Bayu yang masih terikat di kursi. Dia mengarahkan pistolnya ke arah sosok-sosok mengerikan di sekelilingnya, siap untuk bertarung.

"Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada Bayu dan orang-orang ini?" tanyanya dengan suara mengancam.

Suara tawa kecil yang mengerikan terdengar sebelum jawaban datang. Tawa itu seperti suara gesekan tulang, membuat bulu kuduk Arya berdiri.

"Saya Profesor Hadiwijaya, kepala peneliti Serambi Nusantara. Dan apa yang kami lakukan pada rekan Anda dan yang lainnya adalah sebuah kehormatan, mereka menjadi bagian dari evolusi manusia berikutnya."

Layar besar di dinding gudang tiba-tiba menyala, menampilkan wajah seorang pria paruh baya dengan bekas luka bakar yang mengerikan yang memanjang dari dahi hingga pipi kirinya. Luka itu tampak seperti bekas luka bakar yang parah, dengan kulit yang melepuh dan mengkerut. Mata kanannya putih dan buta, tidak fokus, kontras dengan mata kiri yang tajam dan penuh dengan obsesi yang aneh. Pria itu mengenakan jas laboratorium putih yang bersih, yang sangat kontras dengan lingkungan gudang yang kotor dan berantakan.

"Saya tahu Anda bertanya-tanya," lanjut Profesor Hadiwijaya.

"Mengapa seorang ilmuwan terkemuka rela mengorbankan segalanya untuk eksperimen yang dianggap tidak manusiawi."

Lihat selengkapnya