Arya terdiam di balkon apartemennya yang mewah namun terasa hampa, angin malam Yogyakarta yang tercemar menyapu wajahnya, membawa serta bau asap dan debu yang bercampur dengan aroma amis yang samar—aroma darahnya sendiri, yang kini telah berubah.
Pikirannya berkecamuk, sebuah badai ingatan dan emosi yang saling bertabrakan. Kenangan akan Bayu, sahabat—saudara, satu-satunya orang yang benar-benar memahaminya, kini tinggal puing-puing yang menyakitkan.
Pengkhianatan Serambi Nusantara, organisasi yang selama ini dia percayai dan hormati, terasa seperti tusukan belati yang menghancurkan jantungnya. Dan bisikan-bisikan misterius dari dalam dirinya, suara Anima Terrae, entitas kuno yang bersemayam di dalam dirinya, adalah teka-teki yang menakutkan dan mempesona sekaligus.
Dia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dia bukan lagi Arya yang dulu, sang detektif dengan masa lalu kelam namun hati yang teguh. Dia adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang terikat dengan Bayu dalam kematian dan kehidupan, terikat dengan entitas kuno ini dalam sebuah takdir yang jauh melampaui pemahamannya.
"Apa yang harus kulakukan?" bisiknya pada diri sendiri, suaranya serak dan putus asa, nyaris tenggelam dalam gemuruh kota di bawahnya.
Dia merasa seperti terdampar di sebuah persimpangan yang gelap dan tak berujung, tanpa petunjuk arah atau harapan.
Sebuah suara lembut namun penuh kekuatan menjawab dari dalam benaknya, menggema di antara puing-puing kesadarannya.
"Tenanglah, saudaraku. Kita akan menemukan jalan kita. Bersama."
Arya tersentak, tubuhnya menegang. Itu suara Bayu, namun berbeda, lebih dalam, lebih kuno, bercampur dengan getaran aneh yang bukan miliknya.
"Bayu? Kau masih di sana?" tanyanya, suaranya bergetar antara harapan dan ketakutan.
"Selalu. Kita terikat sekarang. Seperti yang selalu kita inginkan, bukan? Bersama selamanya." Suara itu berbisik, dan Arya bisa merasakan sentuhan lembut di benaknya, seolah Bayu sedang membelai ingatannya.
"Ingat saat kita masih kecil, Arya? Saat kita berjanji untuk selalu bersama, tidak peduli apa yang terjadi? Janji itu masih berlaku."
Arya memejamkan mata, mencoba memahami situasi yang membingungkan dan mengerikan ini. Bagaimana mungkin? Bayu sudah mati. Dia melihatnya mati, merasakan kehangatan tubuhnya memudar, mendengar napas terakhirnya.
"Tapi bagaimana? Kau sudah mati. Aku melihatmu mati," ucapnya, air mata mulai mengalir di pipinya.