Anima Terrae

Novian
Chapter #13

Kolam

Hujan lebat mengguyur hutan Kalimantan, air mengalir seperti air mata bumi, membasahi dedaunan lebat yang menyelimuti gua kuno. Arya berdiri di mulut gua, bayangannya bergoyang di bawah kilatan petir yang menyambar langit kelam. Liontin perak di lehernya berkilau redup, foto dia dan Bayu di dalamnya—tersenyum di hari wisuda—seperti jangkar yang menahannya dari kegelapan yang mengintai dalam dirinya. Urat-urat hitam di lengannya berdenyut seiring detak jantung ganda, manusia dan Anima Terrae, berirama seperti drum perang kuno. Aroma tanah basah bercampur dengan bau amis darahnya sendiri, yang kini terasa asing, penuh spora yang bergerak di bawah kulit.

Dia kembali ke gua ini karena jurnal audio, yang ditemukannya di ponsel sahabatnya. 

“Kalimantan Diri,” kata Bayu dalam rekaman itu, suaranya penuh ketakutan dan kagum. 

“Jiwa Hutan yang Memilih. Hanya orang-orang terpilih yang bisa menjadi inang tanpa kehilangan kemanusiaan mereka.” 

Arya merasakan getaran di dadanya setiap kali memutar rekaman itu, seolah Anima Terrae menjawab dari dalam dirinya. Dia harus tahu apa yang dimaksud Bayu—dan mengapa parasit ini memilihnya.

Gua itu bagaikan rahim bumi, dindingnya berkilau dengan kristal yang memantulkan cahaya petir, dihiasi ukiran sosok-sosok setengah manusia dengan mata menyala dan anggota tubuh yang melebar, seperti bayangan dirinya. Udara terasa berat, seolah gua itu bernapas, setiap langkah Arya menggema dengan denyut yang hidup, sinkron dengan ritme asing di dadanya.

Dia melangkah lebih dalam, senter taktis di tangannya menyapu dinding, memperlihatkan tulisan-tulisan kuno dalam bahasa yang tak dikenalnya—simbol-simbol melingkar seperti spora yang berputar.

“Bayu, apa yang kau bawa aku ke sini?” bisik Arya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru hujan di luar. Liontin di lehernya terasa hangat, seolah sahabatnya menjawab dalam diam.

“Kebenaran,” suara Bayu bergema di benaknya, lemah namun tegas, seperti gema dari dunia lain.

“Kau harus tahu asal-usulnya, Arya. Anima Terrae bukan sekadar parasit. Ia hidup, berpikir, dan punya rencana. Dan kau adalah bagiannya.”

Arya tersentak, tangannya mencengkeram liontin.

“Bagiannya? Aku bukan pion, Bayu. Aku di sini untuk menghentikan Serambi Nusantara, bukan jadi budak makhluk kuno ini.”

“Kau bukan budak,” jawab Bayu, suaranya penuh kehangatan meski terdistorsi oleh nada aneh, seperti angin yang bertiup melalui gua.

“Tapi kau juga bukan manusia biasa lagi. Kita terikat, Arya. Dengan Anima Terrae, dengan satu sama lain. Kau harus memahaminya untuk mengendalikannya.”

Lorong gua menurun tajam, membawanya ke sebuah ruang bawah tanah yang luas, seperti kuil yang terlupakan.

Di tengah ruangan, sebuah kolam cairan gelap berkilau, bukan air, melainkan esensi Anima Terrae—darah kehidupan yang sama yang mengalir di tabung-tabung laboratorium Serambi Nusantara. Kolam itu berdenyut, permukaannya bergerak seperti bernapas, dan uap hijau tipis naik ke udara, membawa aroma yang memuakkan namun memikat. Di sekitar kolam, relik-relik prasejarah—tengkorak dengan tulang tambahan, batu berukir dengan simbol spora, dan patung-patung setengah manusia dengan mata kristal—berdiri seperti penjaga bisu.

Arya mendekati kolam, tubuhnya gemetar tanpa perintah. Urat-urat hitam di lengannya merayap lebih cepat, seperti akar yang mencari air. Matanya berkilat merah sesaat, dan dia merasakan dorongan kuat untuk menyelam ke dalam kolam, untuk menyatu dengan esensi itu.

Lihat selengkapnya