Arya berdiri di tepi hutan, menatap cakrawala yang kelam, petir menyambar di kejauhan seperti isyarat perang yang akan datang. Buku catatan dari gua terselip aman di ranselnya, peta di dalamnya terpatri di pikirannya—Singapura, jantung rencana Serambi Nusantara. Urat-urat hitam di lengannya berdenyut, Anima Terrae berbisik tentang kekuatan dan keabadian, tapi suara Bayu lebih keras, lebih jelas:
“Kita Dua Elang, Arya. Kita terbang, kita bertarung, kita menang.”
Dengan langkah mantap, dia menghilang ke dalam kegelapan, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang, menuju pertempuran terakhir yang akan mengubah segalanya.
Arya menyelinap melalui ventilasi laboratorium di bawah gedung pencakar langit Singapura, tubuhnya bergerak seperti cairan, menyatu dengan kegelapan. Parasitenya, Anima Terrae, mengasah inderanya hingga ke tingkat yang nyaris supranatural—setiap getaran di udara, setiap denyut mesin di kejauhan, setiap napas musuh terasa sebelum terlihat. Logam dingin ventilasi membelai kulitnya yang kini kadang berdenyut dengan urat-urat hitam, pengingat bahwa dia bukan lagi sepenuhnya manusia. Namun, di dalam benaknya, suara Bayu tetap menjadi jangkar:
“Kita yang memegang kendali, Arya. Bukan dia.”
Anima Terrae, bagaimanapun, tidak tinggal diam. Bisikannya seperti badai yang mengguncang kesadarannya:
“Serahkan kendali. Jadilah sempurna. Biarkan kami menyatu.”
Arya menggigit bibirnya hingga berdarah, rasa sakit itu membantunya fokus, menahan dorongan parasit untuk mengambil alih. Liontin perak di lehernya, bergoyang pelan, seolah mengingatkannya pada tujuan yang membawanya ke sini: menghentikan Serambi Nusantara, menyelamatkan dunia dari mimpi gila mereka, dan membalaskan dendam sahabatnya.
Ventilasi berakhir di sebuah ruang pengintai yang menghadap ke inti laboratorium. Di bawahnya, ruangan luas terbentang, diterangi oleh lampu neon biru yang dingin dan steril. Di tengah ruangan, sebuah mesin raksasa berdengung dengan energi gelap, seperti jantung mekanis yang hidup. Vial-vial bercahaya berisi esensi Anima Terrae—cairan hijau kebiruan yang berdenyut seperti darah—berjejer di sepanjang dinding, siap dilepaskan ke dunia melalui sistem penyebaran spora yang terhubung ke mesin itu. Di depan mesin, berdiri Lena Wijaya, dalang di balik Serambi Nusantara.
Lena mengenakan gaun hitam pendek yang kontras dengan rambut peraknya yang tergerai, namun auranya jauh dari keanggunan. Matanya dingin, seperti es yang menyimpan api ambisi yang membara.
Di sisinya, para pemimpin organisasi—ilmuwan, pejabat, dan tentara bayaran—berdiri dengan wajah tegang, beberapa memegang senjata, yang lain memantau konsol kontrol. Lena bergerak dengan anggun, tangannya menyapu udara seolah dia adalah konduktor orkestra kematian. Di tangan kanannya, sebuah tablet kecil menampilkan peta dunia dengan titik-titik merah yang berkedip—lokasi target penyebaran spora.
“Arya,” suara Lena halus namun menyengat, seperti racun yang diselimuti madu. Dia menoleh ke arah ventilasi tempat Arya bersembunyi, seolah matanya bisa menembus logam.
“Kau akhirnya tiba. Seperti ngengat yang tertarik ke api. Turunlah, kita perlu bicara.”
Arya menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Bagaimana Lena tahu dia ada di sini? Apakah parasit dalam dirinya mengkhianatinya, mengirim sinyal yang tak dia sadari? Atau ini jebakan yang sudah dirancang sejak awal? Suara Bayu menembus benaknya, mendesak:
“Hati-hati, Arya. Dia ingin memancingmu keluar. Dia tahu kau kunci rencana mereka.”
Dengan gerakan cepat, Arya menendang penutup ventilasi, mendarat dengan lincah di lantai laboratorium, pistol Glock 19 dengan peredam suara teracung di tangan kanan, karambit berkilau di tangan kiri.
Matanya menyipit, menangkap setiap detail—posisi penjaga, jalur keluar, dan vial-vial yang berderet seperti bom waktu. Urat-urat hitam di lengannya berdenyut, dan dia merasakan dorongan parasit untuk menyerang, untuk menghancurkan semuanya tanpa ampun. Dia menahan diri, fokus pada Lena.
“Kau sudah tahu kedatanganku,” kata Arya, suaranya rendah dan mengancam. “Tapi kau tidak tahu apa yang aku bawa. Aku akan menghentikanmu! Untuk Bayu, untuk Alina, untuk semua yang kau hancurkan!”
Lena tertawa, suaranya jernih namun mengerikan, seperti kaca yang pecah di keheningan.