Dini hari, Arya berdiri di tepi tebing curam yang menghadap Laut Jawa, angin laut yang asin dan dingin menerpa wajahnya, membawa aroma garam bercampur dengan sisa-sisa asap dari pertempuran yang baru saja usai.
Langit di ufuk timur mulai memerah, semburat fajar menyelinap di antara awan, menciptakan garis emas tipis yang memantul di permukaan laut yang bergolak. Di bawahnya, ombak menghantam karang dengan amarah, seolah menggemakan gejolak dalam dirinya.
Tubuhnya masih berdenyut akibat pertarungan di Singapura—urat-urat hitam di lengannya bergerak seperti ular di bawah kulit, matanya kadang-kadang menyala merah dalam kegelapan, dan bekas luka di punggungnya, tempat sayapnya hangus, terasa seperti luka yang tak pernah sembuh. Liontin perak di tangannya, dingin dan berat, adalah jangkar satu-satunya ke masa lalu yang masih manusiawi.
Serambi Nusantara telah runtuh. Pemimpin mereka—termasuk Lena Wijaya—mati atau tercerai-berai, rahasia gelap mereka terbongkar ke dunia melalui dokumen yang Arya bocorkan ke media dan jaringan bawah tanah.
Penghancuran mesin spora di laboratorium Singapura telah mencegah pelepasan global Anima Terrae, tetapi Arya tahu ancaman itu belum lenyap. Spora-spora itu masih bersemayam di suatu tempat, tertidur dalam kegelapan, menunggu saat untuk bangkit kembali. Dan di dalam dirinya, parasit itu hidup, berbisik dengan suara kuno yang menggema seperti gempa di kedalaman bumi.