Aceh selalu berbeda! Jauh sebelum Portugis datang ke Malaka, negeri yang satu ini sudah istimewa. Rekam jejaknya terbilang mentereng melintasi zaman. Pada masa kekhalifahan Utsmaniyah, Aceh adalah mitra dagang dan mitra dakwah yang sangat penting bagi pemerintahan khilafah terakhir Islam itu. Tak ayal, pengaruh corak pemikiran dan budaya Timur Tengah kental terasa di negeri ujung Pulau Sumatra ini. Letaknya yang strategis di jalur perlintasan perdagangan laut dunia, menjadikan Aceh primadona perlintasan alam pikiran.
Hampir tidak ada satu jengkal tanah pun di negeri Melayu ini yang tidak dihiasi oleh suasana Islami. Serambi Mekah, begitu sematan orang-orang padanya. Dan, di ujung selatan Aceh, terdapat sebuah daerah yang tak kan lekang mulut menyebutnya. Singkil! Di sinilah seorang ulama besar ditakdirkan Allah hidup, berdakwah dan menunjukajari manusia cara ber-Tuhan yang benar. Syekh Abdurrauf as-Singkili namanya. Dia lah sosok ulama dengan kapasitas keulamaan tingkat tinggi yang berasal dari negeri elok rupa ini. Dari pengajarannya lah berkembang Islam ke pelosok nusantara. Para mubalig dan ulama tumbuh bersemaikan dakwah ‘di dan dari’ negeri yang satu ini.
“Apa yang Ayah pikirkan?” sapa Fitri.
“Oh, anak ayah rupanya. Dari mana, Nak?”
“Baru selesai shalat di langgar, Yah,” Fitri membalas sambil memindahkan lipatan mukenahnya ke bahu. Ia mencium tangan Zamzami. Engku Zam biasa ia disapa.
“Oh, ibu mana?”
“Ada di belakang, Yah. Ibu sedang menunggu Cut Lintang.”
“Membeli Lengkong?”
“Tak tahu juga, Yah. Ibu tidak bilang. Eh, ayah kenapa sendiri saja di sini?”
“Hoho, Ayah baru pulang dari ladang. Tadi buru-buru pulang, e.., malah terlambat ke langgar,” balas Zam. Pria lima puluh tahunan itu sedang melepas penat di serambi rumah. Matanya menatap jauh ke seberang jalan yang ditumbuhi rimbunan pohon bambu.
“Ayah sudah makan?”
“Belum. Nanti saja. Tunggu ibu pulang dulu.”
“Oh, kalau begitu, Fitri buatin teh saja. Ayah mau?”
“Boleh Nak. Kasih rempah melati, ya!” pinta Zam dengan senyuman tipis di bibir. Fitri pun berlalu menuju kamar menarok mukenah dan sajadah. Segera setelahnya, ia berbegas menuju dapur.
“Assalamualaikum,” sapa Hanimah di depan serambi.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Zam singkat. Hanimah segera menyalami tangan suaminya itu.
“Sudah dapat Lengkongnya, Bu?”
“Alhamdulillah, Yah! Sekira cukup untuk seminggu ini,” Hanimah membuka kantong yang terselempang di bahu.
“Alhamdulillah. Sudah cukup itu. Yang penting bisa mengisi dagang seminggu,” Zam menimpali. Kakinya berselonjoran di atas kursi. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Ayah sedang memikirkan apa? Apa gerangan yang ayah pikirkan? Bercerita lah sedikit,” pinta Hanimah dengan suara lembut. Zam hanya tersenyum. Bola matanya masih memandang serumpunan bambu di ujung jalan. Berjuraian ujung-ujung daun bambu melambai ke tanah. Engku Zamzami tengah menikmati cuaca yang sedang terik-teriknya di Gampong[1], Singkil zuhur itu.
“Hoho, Ibu sudah datang rupanya,” sapa Fitri dengan secangkir teh di tangan. Perlahan, ia menaroknya di atas meja. Di sampingnya, Zam duduk di atas kursi beranyaman bambu.
"Diminum lah dulu, Yah,” pinta Fitri.
“Masya Allah, aromanya! Melati lagi Cut?” puji Hanimah sambil tersenyum pada putri kelimanya itu.
“Iya Bu. Ada sedikit lagi bersisa di kantong rempah,” balas Fitri. Perlahan ia duduk di sebelah Hanimah.
“Fitri, sudah berapa bulan kamu selesai Aliyah Nak?” tiba-tiba Zam membuka percakapan.
“Hmm, berapa ya Yah? Fitri lupa. Sebentar. Lulus Juli, Agus, September, Oktober, November, Desember, Januari…,” Fitri menghitung bulan kelulusannya.
“Sepuluh bulan, lama betul macam itu, Cut,” sela Hanimah sambil tersenyum.
“Hoho! Betul Ibu,” Fitri menoleh Hanimah. “Memangnya kenapa, Yah?” tanya Fitri balik.
“Ayah pikir-pikir, tak mungkin rasanya kamu terus-terusan menemani ayah berjualan Es Cendol Lengkong. Umurmu terus bertambah,” terang Zam perlahan. Ia menghela napas panjang. Seteguk teh hangat masuk membasahi kerongkongannya. Fitri tersenyum. Kepalanya tertunduk mendengar ucapan ayahnya itu. Jempol kanannya tampak menekan-nekan ibu jemari kiri.
“Teman-temanmu sudah kuliah semua,” sambung Zam. Hanimah yang dari tadi menghadap zam, mengusap kepala anaknya.
“Cut Zaini, temanmu itu, jadi ambil kuliah tahun kemarin, Nak?” tanya Hanimah pelan. Tangannya masih mengusap kepala Fitri.
“Jadi, Bu. Dia masuk sekolah keperawatan di Medan,” jawab Fitri singkat. Sesekali matanya memandang jauh ke ujung jalan. Kakinya bergoyang selonjoran.
“Hmm, sebaiknya kamu kuliah saja, Nak,” tutur Zam dengan nada pelan. Perlahan matanya menoleh Hanimah. Ia ingin berbagi pikiran. Hanimah hanya mengulum senyum. Fitri pun sama, menoleh pada ibunya.
“Jika kamu mau Nak, ambil lah kuliah tahun ajaran ini, dimana suka,” pinta Zam lanjut. Fitri yang dari tadi hanya terdiam menunduk, pelan-pelan menegakkan kepalanya. Tak terlintas sedikit pun di kepalanya tentang tawaran Zamzami itu. Sejak setahun terakhir, kesehariannya hanya menemani Zam berjualan Es Cendol Lengkong di Simpang Tiga Pasar Singkil.
Menjadi pedagang es cendol Lengkong adalah mata pencarian seorang Engku Zamzami untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Anaknya ada tujuh orang. Tiga orang yang paling besar sudah berkeluarga. Satu orang baru selesai kuliah. Sementara dua orang lainnya sedang bersekolah, di SD dan Aliyah. Beban ekonomi keluarga yang cukup berat menjadikan Fitri tidak punya pilihan lain. Ia memutuskan tidak mengambil kuliah setamat Aliyah setahun yang lalu. Ia kasihan dengan Zam yang harus membiayai kuliah yang mahal. Meminta bantuan kepada para kakaknya, rasanya juga tidak mungkin. Mereka juga sudah disibukkan oleh keluarga masing-masing.
“Ke situ saja Nak, ke Bukittinggi saja! Di sana saja kuliah. Atau cari saja kampus di sekitar sana. Ada Oneng juga di situ,” Hanimah menimpali tawaran Zam. Ia menangkap keinginan Zam untuk segera menguliahkan putrinya. Ia mengerti, tahun kemarin, Fitri terpaksa tidak melanjutkan kuliah disebabkan faktor biaya yang belum bisa dipenuhi. Ia juga paham, sebetulnya Fitri ingin sekali lanjut kuliah seperti kakak-kakaknya. Oneng Irda, kakak yang baru disebutkan Hanimah itu, juga baru selesai kuliah dua tahun sebelumnya di Bukittinggi. Di kota Bung Hatta itu, Oneng Irda berjuang melanjutkan kuliah sambil bekerja di sebuah apotek di Belakang Balok. Hanimah menimbang, sekiranya Fitri ingin pula kuliah, maka akan lebih baik memilih Bukittinggi sebagai tujuannya. Ada Irda yang menemani di sana.
“Memangnya bisa, Yah?” tiba-tiba Fitri bersuara. Ia masih tak percaya dengan ucapan Zam siang itu. Zam hanya tersenyum dan mengangguk.
“Insya Allah,” jawab Zam pendek.
“Ya, kalau tidak kuliah, memangnya putri ayah ini mau selamanya berjualan Es Cendol Lengkong? Sampai Simpang Tiga itu menjadi Simpang Seratus, mau tetap di situ jadi penjaga jalanan?” balas Zam dengan nada berseloroh.
“Uangnya Yah?” sela Fitri pendek. Matanya menatap wajah Zam dengan serius.
“Insya Allah, akan selalu ada jalan. Kakakmu Irda sudah bekerja di sana. Paling tidak, untuk makan kamu tak usah khawatir. Doakan saja, usaha jualan ayah laris-laris saja,” papar Zamzami. Seteguk Teh masuk lagi ke dalam kerongkongannya. Tangan kirinya membetulkan posisi kopiah yang masih terpasang di kepala setelah selesai shalat Zuhur siang itu. Hanimah mengangguk setuju.
*******