Anizaru & Salju

Novik el Koto
Chapter #2

Perempuan-perempuan Ratoh Jaroe

Entah apa yang menyuruh Dek Gam merantau pula ke Jakarta. Sudah tahu Jakarta itu keras, masih juga ia datang ke sana. Sudah tahu Jakarta itu rumit, masih juga ia memilih dekat dengannya. Sudah tahu Jakarta itu padat, masih juga ia rela bersempit-sempit di sana. Sudah tahu Jakarta tak lagi menjanjikan kehidupan yang mudah, masih juga ia mau menerokanya. Namun begitulah jalan hidup! Dari sekian banyak kenyataan tentang Jakarta, ternyata Dek Gam ditugaskan Tuhan datang ke kota itu untuk menciptakan paradoks versinya sendiri. Siapa sangka, modal nekatnya merantau ke Jakarta, malah membuat sesuatu yang lain di sana. Dengan piawai, Dek Gam menunjukkan cara orang Aceh bersyukur melalui tarian. Ratoh Jaroe, sebuah koreografi tari yang ia ciptakan di awal millenium 2000 itu menyeruak dunia. Dan, itu diciptakannya di Jakarta, beribu kilometer jauhnya dari tanah kelahirannya di Bumi Aceh Darusalam sana. 

“Cut Friskia, itu tanganmu belum serempak!” seru Fitri sambil menunjuk gadis mungil berlesung pipit. Friskia Kharisma, begitu nama panjangnya. Badannya kecil tapi gesitnya bukan main. Ia mampu membagi waktu untuk sekian banyak kesibukan hariannya dengan sangat gesitnya. Bayangkan saja, meski baru kelas 5 SD, namun kegiatan hariannya segudang.

Sejak bangun jam setengah lima subuh, tidak ada putus-putusnya ia menghabiskan jatah pembagian waktu yang diberikan Tuhan untuk segala kegiatan yang bermanfaat. Habis subuh, ia menjadi pengantar timphan[1] ke lepo[2] Cut Nyak Fatimah. Kue kenamaan di Aceh itu adalah barang dagangan seorang Friskia kecil dengan segala kegigihannya. Ayahnya Tengku Mahmudanil sudah tiada. Adek-adeknya ada tiga orang, masih kecil-kecil. Sejak kepergian Mahmudanil dua tahun berlalu, Friskia berubah menjadi gadis kecil yang tangguh. Ia tidak punya banyak pilihan selain membantu Bunda Raimah dalam berjualan kue demi mencukupi kebutuhan keluarga. Ibunya itu harus berjuang membesarkan semua anaknya sendiri sejak kepergian suami tercinta. Paling tidak, tiga bejana berisi puluhan timphan akan selalu ia antarkan ke lepo itu. Setiap pagi, tiga kali pula ia bolak balik ke rumah menjemput kue jualan.

Tepat jam tujuh pagi, adalah agenda bersiap pergi ke sekolah. Sekolah SD Mutiara Simpang Lima adalah tempat ia mengembarakan pikirannya ke ranah ilmu pengetahuan. Hingga jam 1 siang, ia hadir di sekolah itu dengan segala bentuk pengajaran yang akan diterima dari para guru. Tepat jam dua siang, adalah agenda berangkat ke langgar. Di sana ia belajar mengaji pada Mutia binti Mudial. Bersama kak Mutia, begitu ia memanggilnya, Friskia belajar melantunkan nada-nada bayyati, hijaz, nahwan, ros, siqah, jiharkah dalam lembaran-lembaran Alquran. Suara Mutia yang bagus sudah terkenal di gampong. Kepadanya lah Friskia menimba ilmu tilawah irama Alquran. Empat kali seminggu ia berguru padanya.

Berikutnya, tepat pula jam 5 sore, masih di langgar itu juga, adalah agenda bersama Fitri, sang pengajar Ratoh Jaroe. Saking gesitnya anak ini, sampai-sampai bunda Raimah sering kewalahan mengikuti ritme hidup sang anak. Seringkali, Raimah berpesan kepada Mutia dan Fitri agar selalu mengingatkan anaknya untuk banyak minum air putih selama belajar di langgar.

“Oh, tangan yang mana Ukak[3]?” sahut Friskia singkat. Matanya berkedip menghadap Fitri.

“Gerakanmu terlalu cepat. Lihat tangan Ainil, Resmi, Dumna, Zahra, Alimna!” pinta Fitri. Kelima temannya itu pun menoleh padanya.

“Oh, baik kak,” Friskia tersenyum sambil menguncupkan telapak tangannya ke mulut.

“Bagaimana kalau kita berpindah posisi saja, Fris?” tanya Alimna. Ia adalah teman sekelas Friskia, sesama pengagum Teuku Cik Ditiro. Saking kagumnya kedua anak ini pada sang tokoh, sampai-sampai keduanya berangan-angan punya suami seperti tokoh legenda dari Aceh itu. Padahal saat itu usianya masih kecil. Ya, berimajinasi tentu boleh saja. Bagi anak-anak, imaginasi adalah bibit yang akan mereka petik buahnya di kemudian hari.

“Aku pindah ke ujung?” tanya Friskia balik.

“Betul, agar kamu tidak kesulitan melihat gerakan tangan kita,” tawar Alimna. Friskia menaikkan bahunya menghadap Fitri.

“Tidak usah, diulangi saja gerakannya. Yuk semua, ulangi! Dumna, Zahra jadi pemandu syairnya, ya,” pinta Fitri.

“Baik kak,” sahut keduanya serempak. Mereka memang selalu menjadi andalan Fitri dalam urusan menghapal syair tarian Aceh. Entah itu Tari Salman ataupun Ratoh Jaroe, keduanya cepat sekali menghapal lirik-lirik syair tarian.

Assalamualaikum, Kame Ucapkan, Kebandum Rakan Jame Bantekan,” Alimna mulai melantunkan syair pembuka.

"Rampai[4]nya di kata Kame ya, Roma! Pinta Fitri pada bujang kecil di tepi halaman Langgar.

 “Baik Kak,” sahut Roma. “Pukulannya agak keras sedikit ya, Rum,” lanjutnya pada Rumin. Rumin mengangguk. Roma dan Rumin menjadi tim musik andalan Ratoh Jaroe binaan Fitri di langgar. Keduanya juga murid bagi Mutia. Bedanya, bersama Mutia, mereka semua belajar di dalam langgar, sedangkan bersama Fitri, menimba ilmu di halamannya.

“Rum, nanti syair baris kedua, Kona[5] yang baca, ya!” pinta Fitri lagi. Rumin kembali mengangguk. Tari Ratoh Jaroe memang membutuhkan lantunan syair yang saling bersahut-sahutan antara penari dan pemain Rampai.

Lihat selengkapnya