Agustus, 2004
Belum lama ini, kampus dikejutkan oleh kedatangan seorang rektor baru. Dr. Idraus, tuan ini lebih tua dari separuh baya. Ia berperawakan mengganjil, didapuk sebagai pimpinan kampus separuh matang. Pada dirinya serba aneh. Pikiran, perawakan, penampilan hingga kebiasaannya lain dari pada manusia normal umumnya. Akalnya yang hilang-hilang timbul, emosi yang bisa meletup begitu saja sebelum ada pemantik, hingga opini-opininya yang ke hilir ke mudik tak beraturan, adalah ciri yang tak bisa dilupakan dari dirinya. Kepadanya lah Nizar dan Fitri berguru di sebuah perguruan tinggi swasta di Bukit Ngarai, tidak jauh dari Kota Bukittinggi.
“Kamu dari mana?” tanya Nizar di pelataran parkir kampus.
“Dari Singkil!” Fitri menjawab pendek sambil tersenyum.
“Singkil itu dimana?”
“Aceh!” jawab Fitri. Nizar mengangguk kecil. Ia juga baru tahu kalau Singkil ada di Aceh. Padahal, negeri itu sudah lama dihuni ulama legendaris nusantara yang kesohor itu. Ulama yang dengan ketinggian ilmunya telah membentuk jiwa Islam di Nusantara, di bumi Minangkabau dan tentu di dalam diri Nizar sendiri.
“Kamu sendiri dari mana?” tanya Fitri balik. Ia mengulurkan tangannya pada Nizar.
“Oh, aku Anizaru. Panggil saja Nizar,” Nizar dengan cepat meraih jabatan tangan rekan barunya itu.
“Baik Nizar. Aku Fitri.”
“Oh ya, tertulis di sini, kita hari ini kuliah Pengantar Ilmu Administasi, ya?” Fitri mengeluarkan selembar kertas fotokopian. Tertera di situ jadwal perkuliahan semester 1, Program Studi Administrasi Publik di Universitas Syariat Terdepan (UST) Bukit Ngarai.
Universitas ini baru lahir kala itu. Kemunculan kampus baru ini terhitung ajaib. Meskipun belum memenuhi standar kelayakan untuk berdiri sebagai sebuah Universitas, namun yayasan pengelolanya bak mendapat durian runtuh. Kepiawaian pengurus yayasannya menjual nama Islam kemana-mana, ditambah penyematan nama tokoh besar asal Sumatra Barat di balik ide pendirian kampus, telah berhasil mendapatkan pengakuan dan izin berdiri dari pemerintah. Meski jauh dari kata ideal, tapi apatah daya. Di republik yang masih berbenah, apapun bisa menjadi ‘di-ideal-kan.’
Setelah mendapatkan izin berdiri, promosi gencar-gencaran yang dilakukan pihak kampus dan yayasan penyokongnya telah berhasil memikat perhatian para calon mahasiswa dari pelbagai pelosok daerah. Mulai dari internal kota Bukittinggi sendiri, wilayah Sumatra Barat, Riau, Jambi, Sumatra Utara hingga ke Jakarta, promosi gencar kampus baru yang disokong ‘label Islam’ itu benar-benar menggiurkan. Pelbagai janji-janji manis dan tawaran boombastis dikampanyekan dalam setiap media promosi. Mulai dari beasiswa gratis kuliah sampai tamat bagi hafiz minimal 3 juz Alquran, kuliah dengan fasilitas memadai dan modern hingga jaminan akan langsung ditempatkan di unit-unit usaha yang sedang dikelola yayasan kala itu, adalah jargon utama yang selalu ditekankan untuk dijual kepada masyarakat.
Efeknya jelas positif. Terlebih bagi para orang tua di pelosok-pelosok daerah. Bisa menguliahkan anak mereka di kampus dengan semua kelebihan yang ditawarkan itu, tentu merupakan suatu kemujuran yang teramat sangat. Hanya saja, mereka tak paham perbedaan strategi aksi dengan strategi promosi. Selalu ada anomali dalam setiap kebaikan yang dibungkus kepalsuan! Begitu bila dibahasakan dengan istilah yang lebih tinggi. Nizar dan Fitri adalah salah dua yang terjerat promosi kampus karbitan itu.
“Iya, kita kuliahnya di ruang mana ya?” tanya Nizar sambil terus celingak-celinguk ke sekeliling halaman kampus. Di depannya berdiri gedung berlantai dua, tempat beberapa ruang kuliah tersedia. Matanya berbinar menoleh gedung itu. Berdecak kagum pikirannya. Ia menyangka akan berkuliah di gedung itu pula nantinya. Betul memang, sebelumnya ia sudah sempat kuliah di STAIN Bukittinggi. Namun dikarenakan biaya kuliah dan asrama yang tak juga kunjung bisa ia bayarkan ke pihak kampus negeri itu, akhirnya ia memilih pindah kampus.
“Tak tahu juga, Nizar. Aku juga baru ke sini, belum sempat lihat-lihat juga sebelumnya,” sahut Fitri sambil terus mengidentifikasi jadwal kuliah di selembar kertas di tangannya.
“Mungkin di gedung ini!” Nizar menunjuk gedung di depannya. Sebuah senyuman manis terhias di wajahnya. Dia menepuk pundak Fitri yang masih menunduk memperhatikan tabel jadwal kuliah.
“Ruang B 301, Gedung Serba Guna,” Fitri menunjuk kolom paling kanan di kertas itu.
“Bukan itu kali, Nizar. Yang di depan ini Gedung Citra. Kita kuliah di gedung Serba Guna,” Fitri menimpali.
“Hmm, iya ya? Bagaimana kalau kita tanya pada mereka yang di bawah tempat parkiran itu?” Fitri menunjuk empat sekawan yang sedang berteduh di parkiran motor kampus. Nizar mengangguk.
Dengan perawakan tubuh sepadan, langkah kaki yang cepat, membuat keduanya sampai di parkiran itu dengan sekejap.
“Assalamualaikum!” Fitri menghampiri keempat orang itu. Begitu juga Nizar, sudah berdiri di sampingnya.
“Waalaikumsalam,” jawab Titin dan Elsa serempak.
“Waalaikumsalam,” jawab Mufid dan Dhani menyusul.
“Telat woi!” sergap Titin sambil tertawa pada keduanya.
“Ye, biarin! Kan dijawab juga salamnya,” gerutu Mufid. Anak muda dengan perawakan tinggi itu baru saja datang dari Jakarta untuk pindah kuliah ke Bukittinggi. Kepindahannya itu adalah keputusan yang revolusioner. Bapaknya menilai anaknya ini tidak akan berhasil bila terus berkuliah di Jakarta. Bukan tanpa sebab, selama dua tahun kuliah di kampus swasta di Jakarta, Mufid tidak menemukan kenikmatan menjadi manusia terdidik. Seringkali ia berdiam diri di rumah dari pada datang kuliah ke kampus. Ia malas berurusan dengan hingar bingar kota dan keruwetan di sana-sini. Mufid bukan tipe manusia yang bisa hidup di lingkungan seperti itu. Sampai kemudian, kebosanan bapaknya memuncak melihat tingkah anaknya itu. Akhirnya Mufid dipindahkan ke Bukittingi. Di Bukittinggi, ia tinggal bersama pamannya. Di Bukittinggi ini pula lah, Mufid menjadi salah tiga yang berhasil dijerat kampus baru ini.
“Aku Fitri, ini Nizar. Kami mahasiswa baru di sini. Mau bertanya, gedung serba guna yang mana, ya?” Fitri menyodorkan tangannya ke arah Titin.
“Jurusan apa?” tanya Mufid cepat.
“Ye, kenalan dulu,” sanggah Titin sambil melototi Mufid.
“Administrasi Publik,” jawab Nizar yang berdiri di sebelah Fitri.
“Waaduh, sama kita berarti,” sahut Mufid lagi.
“Oh ya?” Nizar kaget. “Berarti kita kuliah di gedung yang sama ya?” tanyanya berlanjut. Dhani dan Titin mengangguk sambil tersenyum.
“Jadi, Kalian sedang mencari ruang kuliah juga? Sama jurusan Administrasi pula?” tanya Fitri sedikit penasaran. Ia terus menyalami Dhani dan Elsa.
“Iya, sama berarti kalau begitu,” jawab Dhani dan Elsa serempak. Di samping Fitri, Nizar juga tampak sedang berkenalan dengan Mufid. Pria berperawakan tinggi itu tampak grogi. Dan, Nizar tahu Mufid sedang salah tingkah.
*******
“Mana yang lain?” sapa Noka pada seisi kelas. Dosen muda yang juga baru bergabung dengan kampus baru itu sudah menanti mahasiswanya sepuluh menit lamanya. Boy Novka, M.Sc, begitu namanya. Sejak kecil, ia selalu dipanggil ‘Boy,’ hingga kemudian berganti menjadi ‘Noka.’ Usut punya usut, nama panggilan itu adalah trik sang dosen demi menghindari hukuman dari panitia ospek pada hari-hari pertama masuk Unpad kala itu. Ia sengaja mengganti nama panggilannya menjadi ‘Novka’ untuk mengelabui para senior yang terus menagih tugas-tugas aneh yang mereka berikan kepada para mahasiswa baru selama ospek berlangsung. Seiring berjalannya waktu, akhirnya lidah para koleganya menyederhanakan panggilan itu menjadi ‘Noka’ saja. Ia pun menikmati panggilan baru itu. Baginya, mendapat panggilan baru itu seperti Tan Malaka saja. Dimana bumi dipijak, di situ nama diganti.
“Ooh, mungkin masih di luar Pak,” sahut Nizar pelan. Wajahnya sedikit gugup.
“Kalian cuma berenam?”
“Betul Pak. Kami juga baru berkumpul hari ini,” sela Fitri segera. Tangannya bertumpu di atas papan kursi.
“Ooh, baiklah kalau begitu. Hmmm…!” Noka menghela napas panjang. Bergumul rasa di hatinya. Ingin rasanya tidak percaya, tapi begitu lah kenyataannya. Ada kampus yang menerima mahasiswa baru berjumlah enam orang saja, setingkat program sarjana pula. Belum lagi, sejak sepuluh menit sebelumnya, pikirannya terus bertanya-tanya, apa betul ini ruangan kuliah tempatnya akan mengajar di pagi itu. Usah kan layar infokus, papan tulis pun tidak ada! Yang mau duduk, cukup bersila saja di atas karpet. Tidak ada kursi sama sekali. Dilihat-lihatnya, dinding ruangan pun hanya terbuat dari triplek tipis. Ukurannya tak lebih dari 4x3 m. “Ini tempat kuliah atau tempat ronda?” begitu saja bunyi pikirannya saat itu.
“Ok. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” Noka membuka sesi kelas. Enam orang mahasiswa barunya itu menjawab serentak. Mereka bersemangat sekali, meskipun kuliah di suasana dan latar tempat yang seperti itu.
“Tak kenal maka tak bersapaan. Saya Boy Novka. Jangan panggil saya Boy. Sapa saja Noka. Selamat datang di jurusan ini. Ini adalah jurusan yang baru dibuka tahun ini di sini. Semoga kelak, saudara semua memperoleh apa yang diharapkan selama ini,” Noka melanjutkan dengan perkenalan lugas.
“Oo.. Pak Noka. Boleh tahu bapak tinggal di mana?” sela Nizar sambil mengacungkan tangan.
“Ooh, perlu lokasi rumah saya juga, ya? Hoho, saya orang Canduang,” jawab Noka singkat.
“Wah, berdekatan berarti kampung kita, Pak. Saya orang Lasi,” tutur Nizar segera.
“Ooh, saudara orang Lasi? Betul berarti, kita satu nagari.”