Anizaru & Salju

Novik el Koto
Chapter #5

Bom Waktu

“Anda benar-benar tidak bertanggung jawab, Pak!” bentak Ruhana pada Idraus. Inilah Rektor paling mengganjil yang pernah ada di muka bumi. Ia adalah sosok di balik penderitaan ratusan mahasiswa dan tokoh kebohongan publik paling dramatis abad ini. Keburukan tampak elok di matanya. Kebenaran tampak brengsek di hatinya. Kepongahan adalah perihal yang selalu ia kumandangkan. Ironisnya, semua itu ia lakukan dengan sadar. Ia membuka pidato dan kata sambutan di mana-mana dengan prolog Islami yang begitu fasihnya. Namun pada saat bersamaan ia dengan sadar jiwa pula mengobral nama Islam dalam kepalsuan, kebohongan, kecongkakan dan lainnya yang sejenis dengan itu. Saking mengganjilnya, tak ada rasa bersalah sedikit pun di hatinya, tak ada rasa malu se ujung kuku pun dalam dirinya. Benar kiranya, menjadi orang pintar yang tertutup hatinya hanya akan seperti rumah mewah tanpa jendela. 

“Oohoho. Bapak-bapak dan ibu-ibu salah mengerti. Kampus kita ini tengah naik daun sekarang. Orang se-Sumatra sudah tahu kampus kita. Nama kampus kita sudah mentereng, sering keluar di koran. Kemarin mahasiswa kita baru saja dapat juara lomba Kewirausahaan tingkat Nasional,” Idraus menjawab bentakan Ruhana dengan percaya diri sekali. Sama sekali tidak ada rasa menyesal dan malu di raut wajahnya siang itu. Padahal di hadapannya, sudah hadir puluhan orang tua mahasiswa dari pelbagai pelosok daerah yang tengah menuntut keadilan terhadap anak-anaknya.

Baru kali itu ada kampus ‘diserbu’ oleh para orang tua mahasiswa. Tidak lazim memang! Tapi itu nyata adanya. Barangkali, jika Bung Hatta diizinkan Tuhan hidup semenit saja saat itu, maka bisa dipastikan akan beliau cakar wajah rektor jumawa tak tahu malu itu. Kotanya yang sudah bertuah di ranah pendidikan, menjadi sebegitu buruknya akibat ulah para ‘oknum cendekiawan’ yang congkak dengan kekuasaan dan ilmu yang mereka miliki.

 “Heh, orang tua! Anda yang tidak mengerti! Anda yang tidak paham situasi, bahkan diri anda sendiri, anda tidak paham! Sudah bersuluh matahari, bergelanggang mata orang banyak, menyaksikan kampus ini sebobrok ini. Anak-anak kami sudah kembali dari Pagpertis[1] Padang memperjuangkan nasib mereka seminggu lalu. Kalian sama saja! Tidak pemerintah, tidak yayasan, tidak kampus, kalian sama saja!” Etek Hevira berdiri menyeruak kursi. Dihardiknya rektor lima puluh tahunan itu dengan suara lantang. Seisi kelas yang dipenuhi para orang tua mahasiswa itu riuh. Mereka semua sepakat dengan ucapan Hevira barusan. Ibu paruh baya asal Pasaman Barat itu datang ke Bukittinggi setelah mendengarkan keterangan dari Weni Sholehayati dua hari sebelumnya. Sebagai mahasiswi Farmasi di kampus itu, Weni terpaksa harus menceritakan semuanya pada Hevira. Apa boleh buat dan apa hendak dikata, Weni harus memberitakan kabar menyedihkan sebelum sempat mengabarkan berita jadwal wisuda seperti yang diimpi-impikan Hevira selama ini. Hevira pun tidak tanggung-tanggung pula memperjuangkan putrinya itu agar bisa menjadi sarjana. Sepuluh petak sawah miliknya sudah digadaikan sewaktu mendaftarkan Weni kuliah di kampus itu. Dengan uang itu, ia kuliahkan putrinya selama dua tahun terakhir. Namun apa hendak dikata, sejak hari pertama di kampus, Weni mendapatkan seburuk-buruk perlakuan dari sebuah kampus karbitan sebelum toga sempat dikenakan.   

“Betul itu! Betul ibu! Ibu betul sekali!!!” serentak puluhan suara orang tua menopang bentakan Hevira. Mereka sama menggerutu ke arah meja rektor di depan kelas itu. Roki Yunanto MH, seorang dosen yang juga mengajar di kampus itu, hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia sendiri juga tidak sejalan dengan Idraus di kampus yang tidak jelas struktur organisasinya itu. Namun, ia juga tidak punya pilihan lain. Ia terus ditekan oleh pihak yayasan yang tidak berani datang untuk menghadapi puluhan orang tua mahasiswa yang tengah menuntut keadilan bagi anak mereka. Ia diminta paksa mewakili yayasan dan mendampingi Idraus siang itu. Seperti yang disampaikan Ruhana dan Hevira, ketidakbenaran benar-benar sedang diinjak-injak oleh orang-orang berilmu yang merasa dirinya selalu benar.

Idraus tampak gelegapan. Wajahnya pucat dibentak seperti itu. Sifat aslinya keluar. Aslinya, ia adalah seorang yang penakut tapi selalu berusaha tampil seolah-olah pemberani. Lebih mirisnya lagi, ia tak pernah merasa malu dengan prilaku yang seperti itu. Mungkin memang begitu pula kiranya. Manusia yang larut dengan kecongkakan dan kesombongan, akan kehilangan harta paling berharga yang dititipkan Tuhan padanya yakni rasa malu!

“Sekarang begini saja! Bapak tidak usah banyak cakap begini begitu. Hari ini juga, berikan kami surat pemindahan mahasiswa untuk anak-anak kami,” tiba-tiba Gerung Marajo bangkit dari kursinya. Ia menunjuk wajah rektor, tiga meter di depannya. Kesehariannya adalah buruh kebun Teh di Jambi. Putrinya, Febriona Marhani juga kuliah di kampus itu, mengambil jurusan Farmasi. Mata Gerung menatap tajam wajah Idraus yang sudah pucat pasi.

“Kalau Anda tidak mau mengeluarkan surat itu, kami akan laporkan ini ke polisi hari ini juga! Kampus ini jelas-jelas sudah membohongi masyarakat. Ini penipuan!” bentakan senada dengan Ruhana, Hevira, dan Gerung juga dilontarkan Drs. Imam Sabili yang datang jauh-jauh dari Merauke untuk membela anaknya pula. Bapak yang satu ini sudah bertugas belasan tahun di sana sebagai pegawai negeri sipil. Daerah asalnya adalah Ampek Angkek—sebuah nagari di Kabupaten Agam—tidak jauh dari pusat kota Bukittinggi. Intan Khairani, putrinya ikut menjadi korban. Lebih dramatisnya, keputusannya menguliahkan Intan ke Bukittinggi agar dekat dengan kampung halaman malah berujung jeratan iklan pembohongan publik karya kampus semenjana itu.   

Mendengar bentakan silih berganti seperti itu, wajah Idraus semakin pucat. Bibirnya kuyu. Gigi-giginya bertaut keras menahan rasa takut. Bahunya kuncup.

“O o Oo.. baik. Ba Ba baik bapak-ibu sekalian. Kalau memang itu permintaan bapak-ibu, saya akan keluarkan suratnya,” Idraus memaksakan diri menjawab tuntutan bertubi-tubi itu. Tangan dan kakinya sudah gemetaran.

“Siang ini juga! Siang ini juga harus ada itu surat!” bentak Gerung Marajo semakin menjadi-jadi. Badan, tangan dan kakinya menggigil geram.

“Pak Roky, tolong ketik saja sekarang, surat pemindahan mahasiswa ini,” mulut Idraus terus gemetaran meminta Roki yang menjadi asisten dadakannya siang itu. Segera, Roky yang juga sudah kehabisan kata-kata itu meng-copy paste­ format file surat menyurat kampus yang tersimpan di laptopnya. Dengan pikiran yang juga tak kalah ruwetnya, Roky memaksakan diri mengetik surat yang tengah diminta. Berkali-kali ia menghela napas panjang setiap mengetik kata demi kata pemindahan mahasiswa itu. Sama sekali tak terbayangkan olehnya, Tuhan akan mempertontonkan kisah memalukan sekaligus memilukan itu kepadanya. Sebagai seorang dosen muda yang baru saja lulus dari Fakultas Hukum UGM, tidak selayaknya kejadian itu ia alami. Ilmu Hukum yang ia tuntut selama ini seperti sedang diuji Tuhan kesahihannya. 

“Bila sudah selesai, langsung print out saat ini juga! Anda tandatangani di depan kami. Anak-anak kami akan kami pindahkan segera ke kampus lain!” bentak Drs. Imam Sabili berlanjut. Ia masih berdiri di samping kursinya dengan wajah geram. Puluhan orang tua lainnya terus menyuarakan persetujuan mereka pada setiap tuntutan Imam dan rekan-rekannya. 

“Anda ini masih beruntung, orang tua! Bila tidak mengingat dan menimbang wibawa nama besar tokoh bangsa yang kalian pakai untuk mendirikan kampus ini, bila tidak mengingat kalian memakai nama Islam di balik nama kampus ini, sudah kami pidanakan kalian semua. Kalian benar-benar tidak tahu malu! Rusak bangsa ini akibat ulah perbuatan kalian!” Drs. Imam Sabili membentak sejadi-jadinya. Ia menahan geram teramat sangat. Di luar ruangan, Intan, dan puluhan mahasiswa lainnya menyaksikan seorang rektor tua yang kehilangan wibawanya sebagai seorang manusia. Terpampang nyata di hadapan mereka, di tangan orang-orang yang congkak, Islam tergadaikan dengan sebegitu murahnya.

“Ooo, ba ba baik Pak,” Idraus semakin gugup bukan main. 

“Sudah selesai Pak Roky?” Idraus segera menoleh sambil melihat layar laptop Roky. Ia sengaja mengalihkan wajah ke arah Roky yang juga gemetaran mengetik kalimat ‘saya selaku Rektor mengizinkan pindah dan memohon kesediaan kampus baru untuk menerima mahasiswa kami,’ di layar laptopnya.   

Siang itu juga, surat pemindahan puluhan mahasiswa itu selesai ditandangani semuanya. Tidak kurang dari delapan puluh mahasiswa memutuskan pindah serentak! Betul-betul seperti bom waktu. Eksodus besar-besaran itu menjadi bukti betapa rapuhnya senyuman yang dibungkus kepalsuan. Suatu saat, kepalsuan yang terus dipelihara akan mencapai titik kulminasinya. Pun, ketika itu terjadi semesta akan meremukkannya, seremuk-remuknya!    

Setelah mendapatkan surat itu, para orang tua memanggil anak-anak mereka yang sudah menunggu di luar ruangan. Entah seperti apa perasaan yang bisa digambarkan pada saat itu. Yang jelas, mereka semuanya seperti baru saja lepas dari lubang jarum setelah sebelumnya terkekang dalam kebuntuan jalan hidup akibat ulah oknum cendekiawan yang memperjualbelikan label Islam kemana-mana.

Lihat selengkapnya