“Hey, Is!” Rena berteriak memanggilnya.
Tampak seorang laki-laki berperawakan tinggi dan tegap. Dia hitam manis, dan potongan rambutnya cepak. Memakai baju kaos oblong merah ngejreng dan celana jins biru tua, sneaker Adidas hitam putih yang ikonik pun semakin mempertegas elegannya penampilan laki-laki itu. Tak lupa jaket jins, untuk melindunginya dari serangan panas matahari, dan yang paling penting, maskernya yang sengaja dia pilih warna hitam demi menunjang penampilannya.
Saat itu bulan April tahun 2020. Sedang berlangsung pandemi di seluruh dunia, mereka harus berjaga-jaga dari serangan Virus Corona, lebih tepatnya Covid-19 (Corona Virus Disease 2019). Caranya dengan selalu memakai masker setiapkali keluar dari rumah, selalu cuci tangan dengan air sabun yang mengalir dan jaga jarak minimal 1.5 meter. Karena Covid ini adalah penyakit yang sangat menular, melalui droplet air liur yang bahkan terkecil sekalipun saat batuk, bersin dan berbicara. Gejala pada umumnya adalah seperti influenza, yang bisa bertambah buruk dengan peradangan paru-paru akut. Resikonya adalah kerusakan paru permanen. Jika sudah kritis sekali karena penyakit bawaan seperti diabetes, jantung dan lainnya, kemungkinan paling buruk adalah kematian.
Rena berlari mendekati sahabatnya sekaligus teman kerjanya, Ismanto. Mereka sedang antri di halte busway.
Rena Eka Putri memakai jaket parka coklat muda, kaos oblong biru tua dan celana jins biru muda, sneaker putih. Rambut panjangnya yang sebahu dikucir kuda. Maskernya berwarna pink motif hati.
“Untung aku belum terlambat!” seru Rena ngos-ngosan.
“Busnya sebentar lagi datang!” sahut Ismanto singkat. Dia memberi isyarat kepada Rena, untuk siap-siap.
Pintu busway sudah terbuka, dan setelah beberapa penumpang di dalamnya keluar, mereka berdua masuk ke dalam. Mereka duduk terpisah sebab mereka pria dan wanita.
Sekilas Ismanto melihat seorang wanita cantik, rambut hitamnya yang ikal tergerai sebahu. Dia memakai celana jins biru muda dipadu sweater tipis berwarna ungu muda pastel, sneakernya berwarna putih. Dia membawa tas selempang merah.
Gadis itu terlihat sangat pucat. Matanya besar, dihiasi eyeliner hitam, alisnya cukup tebal sehingga tak perlu dilukis lagi dengan pensil alis, hidungnya mancung. Kulitnya kuning langsat.
Ismanto sangat tertarik kepada sosok wanita itu, karena tatapan matanya yang sangat sendu. Terlebih lagi, Ismanto tahu benar itu adalah sosok hantu.
Ismanto memang bisa melihat hantu sejak kecil, dan dia sudah terbiasa melihat penampakan-penampakan yang ada. Tak ada seorangpun yang mengetahui kemampuannya hingga kini, kecuali seorang sahabatnya semasa kuliah.
Namun, bukan hanya tatapan sendu wanita itu yang menarik hatinya, dia merasa sangat familier dengan wajah itu.
Dia mengernyitkan kening, berusaha mengingat-ingat, di mana dia pernah melihatnya.
Ismanto segera duduk di kursi yang tersedia. Sesekali dia melirik sosok hantu itu, yang berada di depannya dari kejauhan.
Sampai halte Belezza Permata Hijau di bilangan Jakarta Selatan, dia dan Rena keluar dari bus. Dilihatnya hantu wanita itu masih saja duduk disitu, masih bergeming. Seolah-olah tak ada yang bisa mengganggu dirinya.
Di depan ruko Belezza Permata Hijau, Rena mengangkat tangannya menghalangi Ismanto, menghentikan langkah kaki teman kerjanya.
“Kenapa, Is? Ada sesuatu yang mengganggumu di bus tadi?” Rena bertanya.
Ismanto menggaruk-garuk jidatnya dan berkata,
“Tadi aku bertemu dengan seorang perempuan di bis. Aku merasa pernah bertemu dengannya, tapi tak ingat dimana.”
Rena tersenyum dan memukul lengan lawan bicaranya.
“Mau menggoda dia kalau ada kesempatan?”
Ismanto tersenyum dan membuka pintu masuk kantornya.
“Hei, jangan berani ya kalo mau menggoda perempuan. Bagaimana nasibku nanti?” timpal Rena, menuju mejanya.
Ismanto hanya melambaikan tangannya dari belakang, dia tetap berjalan menuju meja kerjanya. Rena tersenyum melihat reaksi Ismanto yang cuek.
Rena bekerja di bagian keuangan, dan Ismanto bekerja di bagian auditing. Perusahaan mereka adalah perusahaan periklanan yang cukup terkemuka di Indonesia.
Telepon berdering di meja Ismanto dan terdengar suara Rena di seberang,
“Hey Is, jam satu siang kita dipanggil rapat oleh Pak Bos.”
“Oke,” Ismanto mengiyakan.