Awal Juni 2020, pemerintah Indonesia sudah mengizinkan perkantoran di segala sektor dibuka dengan syarat kapasitas 50%. Pertengahan Juni 2020 dine-in di restoran, kafe dan mal sudah diperbolehkan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka New Normal. Suatu hal yang sudah lama ditunggu oleh masyarakat Jakarta, yang sudah sangat jenuh dikekang oleh aturan pemerintah daerah.
Mengawali bulan Juni tanpa terasa, Ismanto pun tampak sudah lupa apa yang pernah terjadi padanya. Bahkan saat ini, Ismanto sedang pusing luar biasa karena dia sedang dikejar oleh dateline yang sangat mepet. Rasa jenuh pun menghampirinya.
Dia memutuskan untuk mampir sebentar ke kafe Rumah Kopi yang selalu menjadi opsi keduanya di komplek perkantorannya. Dia sedang tak ingin ke Starbucks yang selalu ramai, dia ingin mencari suasana yang tenang. Rumah Kopi adalah solusi yang paling tepat bagi Ismanto.
Selesai membayar di kasir, sekali lagi dia mendapatkan pemandangan yang tak asing.
Dengan tak percaya, dia menatap terus apa yang dilihatnya. Dia berdecak tersenyum keki, dan mencari meja yang dapat mengamati apa yang tak disangka olehnya.
“Siapa dia?” Ismanto bertanya kepada Fatma Risa. “Aku belum pernah bertemu dia selama di kafe ini. Dia baru ya?”
Fatma adalah salah satu sosok hantu penunggu kafe “Rumah Kopi”. Dia berbaju panjang berwarna abu-abu muda, rambutnya hitam panjang dikuncir kuda. Dari wajah hingga kaki sudah rusak sebagian di bagian kanan, bekas terbakar. Dia adalah salah satu korban kebakaran hebat di sebuah bangunan toko sekitar kawasan itu, beberapa tahun lalu.
Dia sangat menyukai Ismanto, sehingga dia sering menemani Ismanto setiapkali laki-laki itu datang ke kafe itu.
Fatma menoleh ke sosok yang ditunjuk oleh Ismanto.
Seorang wanita, rambut hitamnya yang ikal sebahu, tergerai begitu saja. Dia memakai celana jins biru muda dan sweater tipis berwarna ungu muda pastel. Sneaker putihnya semakin mempercantik penampilan wanita itu.
Wanita itu duduk di meja kursi di sebelah jendela kafe yang besar itu. Dia sedang bertopang dagu di meja dengan tangan kirinya, memandang ke arah luar jendela. Tatapan matanya terlihat sedang menunggu seseorang.
Ismanto sudah pernah melihatnya di busway beberapa bulan yang lalu. Dia sungguh tak menyangka sama sekali, jika dia akan bertemu lagi dengan sosok hantu wanita itu.
Fatma kaget melihat sosok wanita yang dimaksud oleh Ismanto.
“Kenapa, Fatma? Siapa dia? Mengapa sepertinya kamu takut sekali padanya?” cecar Ismanto, semakin penasaran ketika melihat ekspresi wajah Fatma yang sangat tegang.
“Namanya Anjani,” jawab Fatma singkat.
Dia segera memegang lengan Ismanto dengan erat-erat. Dia mendekatkan mulutnya ke telinga Ismanto dan berbisik,
“Dia paling kuat di antara kami. Jangan ganggu dia.”
Ismanto termenung. Dia tak percaya.
“Masa? Dia terlihat begitu lemah dan sangat halus gerak geriknya.”
Fatma memukul lengan Ismanto dengan keras.
“Kamu sungguh tak tahu! Meski dia sangat halus, namun dia sangat keras. Lihat saja lingkungan sekitar sini, tak ada sosok jahat disini kan? Semua sangat segan kepada Anjani.”
“Masa? Apa hebatnya dia?” tanya Ismanto lagi. “Mengapa aku baru tahu ya, tentang dia? Aku kan sering kesini.”
Fatma memukul lengan Ismanto lagi.
“Kekuatannya sangat tinggi. Dia pernah berkelahi dengan sosok jahat, yang pernah menguasai tempat ini selama duapuluh tahun. Kami bahkan sangat takut kepadanya namun Anjani menang. Itu sebabnya dia dapat tinggal disini terus sejak itu. Sudah sepuluh tahun lebih sepertinya.”
Fatma melanjutkan lagi,
“Anjani selalu ke kafe ini setiap jam duabelas siang sampai enam sore. Selepas magrib, dia selalu menghilang dalam kegelapan. Kamu kan selalu kesini setiap malam sepulang kerja. Wajar kamu baru tahu sekarang. Lagipula, tumben kamu datang sesiang ini.”
Ismanto tersenyum. Dia sedang jenuh dengan pekerjaannya, maka dia turun sebentar dari kantornya untuk membeli kopi kesukaannya siang itu.
“Bukankah dia menolong kalian, tetapi kenapa kalian malah takut padanya?” Ismanto masih saja penasaran.
“Kamu belum pernah menghadapinya secara langsung, maka kamu belum tahu,” jawab Fatma gelisah. “Anjani sangat pendiam. Setiapkali dia berbicara, suaranya selalu terdengar sangat berwibawa sekalipun nadanya kecil. Kami bahkan lebih menyukai dia diam saja sepanjang hari. Sungguh berbahaya jika dia sampai bersuara!”
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di kafe itu. Hanya Ismanto yang bisa mendengarnya. Para pengunjung kafe yang sedang nongkrong di kafe tersebut, tentu saja tetap bersikap tak ada apa-apa, karena mereka adalah manusia.
Beberapa sosok hantu menangkap sebuah sosok hantu anak kecil dan membawanya ke hadapan Anjani. Anak laki-laki itu kira-kira berusia lima tahun.
“Ibu, anak ini tertangkap basah berani jahil kepada salah satu pejalan kaki di wilayah kita. Padahal pejalan kaki itu tidak berbuat apa-apa.”
Karena Anjani merupakan sosok hantu terkuat di komplek perkantoran itu, para hantu sepakat memanggil dia Ibu.
Terdengar suara pukulan tangan kanan Anjani di meja, menghentikan kegaduhan itu. Anjani masih bertopang dagu dengan tangan kirinya.
Bahkan Ismanto dan Fatma yang menonton dari kejauhan, ikut terkejut oleh suara itu.
Beberapa sosok hantu di depan meja Anjani, pun keder. Sempat tergerak ke belakang.
“Aku tak butuh keributan kecil. Siapa kamu disini, berani jahil kepada manusia yang tak bersalah?” Anjani akhirnya bersuara.