ANJANI

Nuning Soedibjo
Chapter #3

CHAPTER 3 : GERHANA BULAN PENUMBRA

Sepulang kerja, Ismanto masuk ke dalam apartemennya yang seluas seratus meter persegi. Dia menaruh sejumlah belanjaannya di area foyer, dan melepas sepatunya di rak.

Diambilnya semprotan disinfektan di atas rak sepatu dan disemprotnya beberapa tas plastik belanjaan, untuk membunuh kuman dan virus.

Meskipun laki-laki ini tinggal sendirian, dia sangat paranoid setelah mendengar berita tentang pandemi Covid ini. Begitu banyak langkah pengamanan yang sudah dilaksanakan olehnya, demi menjaga dirinya tetap sehat.

Apalagi dia selalu kemana-mana naik busway, semakin menambah risiko terpapar Covid. Dia tak ingin main-main dengan nyawanya sendiri.

Dia mengambil handuk di salah satu kamar yang dijadikannya sebagai gudang dan segera mandi. Apartemennya memiliki dua kamar tidur dan dua kamar mandi.

Sudah menjadi protokol kesehatan Covid, siapa pun yang baru saja pulang beraktivitas dari mana saja, dia harus langsung mandi dan ganti baju.

Apalagi dari supermarket yang rentan, Ismanto jelas tak ingin mengabaikan masalah kesehatan ini.

Ismanto telah bersalin baju dan mengeringkan rambutnya. Dia memakai celana boxer dan kaos oblong. Keluar dari kamarnya, menyusuri lorong, melewati dapur dan ruang makan yang terletak di sebelah kanan. Dia berbelok kiri ke arah ruang keluarga, hendak menonton tivi.

Mendadak dia berhenti, dan menoleh pelan-pelan ke kanan, ruang makan.

Dia kaget dan mundur kalang kabut. Terjatuh ke atas sofa. Ismanto berseru, “Aduh!”

Anjani duduk di salah satu kursi makan.

Ismanto mengelus dada berulangkali, debar jantungnya masih terasa keras sekali. Sejenak kedua matanya menutup saking syoknya.

“Aduh, aku bisa jantungan!”

Seharusnya itu hal biasa untuk Ismanto, yang memang mempunyai kemampuan untuk melihat hantu. Namun jarang ada hantu yang mengikuti dia hingga ke tempat tinggalnya.

Ismanto menyadari Anjani serius dengan perkataannya sendiri, bahwa hantu wanita itu akan mengikutinya ke mana-mana.

Anjani bertopang dagu di meja makan. Posisi duduknya menghadap ke jendela apartemen yang besar-besar. Dia bisa mengamati siapa pun yang duduk di sofa di sebelah kiri dan televisi flat sebesar lima puluh inci di sebelah kanan.

“Sungguh enak tinggal di apartemenmu yang keren ini. Untunglah aku mengikutimu. Jika tidak, bisa bosan aku di kafe itu.”

Anjani bangun dan berjalan lurus  ke arah jendela besar samping kiri sofa dan tivi, menembus meja makan.

“Ah, aku sudah lupa rasanya melihat pemandangan kota yang jelek begini dari lantai atas.”

Apartemen Ismanto di lantai lima.

Anjani memandang ke langit malam yang cerah. Dia membalikkan badan dan menatap Ismanto,

“Apakah pintu menuju atap apartemenmu terbuka? Kita ke atas yuk, aku ingin melihat gerhana bulan penumbra. Siapa tahu terlihat! Aku dengar di kafe, orang beramai-ramai mengatakan soal fenomena gerhana bulan penumbra tanggal 6 Juni 2020 besok.”

Ismanto berjalan menuju kulkas dan mengambil es batu, ditaruhnya ke dalam gelas kosong dan diisinya air putih. Diminumnya sampai habis dan dia mengisi gelas itu lagi sampai penuh dan ditaruh di meja makan.

Ismanto menggoreng ayam dengan bumbu kuning sebagai lauk makan malamnya. Tak lupa diambilnya  sebotol kecil sambal di pintu lemari es. Dia membuka penanak nasi elektronik di meja dapurnya dan menaruh sejumlah nasi di piringnya.

Ismanto duduk di meja makan berukuran 90x90 sentimeter. Anjani tersenyum dan kembali duduk di posisi semula. Ismanto duduk di sebelah kiri Anjani.

“Ternyata kamu tipe pria rumahan ya.”

Ismanto tersenyum tipis dan berkata,

“Maaf, aku makan dulu ya.”

Anjani bertopang dagu di atas meja dan memandang Ismanto lekat-lekat, tersenyum.

“Sudah lama aku tak memperhatikan orang makan.”

Ismanto menyela.

“Bukannya kamu sering melihat orang makan minum di kafe Rumah Kopi itu?”

Anjani tersenyum. “Kamu berbeda. Spesial untukku. Jika tidak, aku takkan mengikutimu kemana-mana. Makanya aku ingin mengajakmu melihat gerhana bulan penumbra nanti malam.”

“Apakah ini berarti aku tak akan bisa tidur sama sekali?” sahut Ismanto, mulutnya penuh makanan.

Anjani mengangguk dan tersenyum,

“Benar. Jam satu malam kita harus ke atas. Katanya puncak gerhana penumbra jam dua pagi.”

Ismanto menggoyang-goyangkan tangan kanan. Katanya,

“Tidak bisa, aku harus tidur lebih dulu. Kamu nonton televisi saja deh.”

“Oke,” jawab Anjani singkat.

Lihat selengkapnya