Jam sebelas malam, Rani tertidur setelah salat isya dan berdzikir seperti biasa. Kali ini dia sengaja tidak memakai penyumbat telinga. Dia ingin bersikap waspada lagi. Mendadak jam dua pagi, terdengar gonggongan Chiko yang nyaring, menembus heningnya malam.
Rani terbangun. Dia segera keluar kamar untuk wudu, dan salat malam alias tahajud memohon perlindungan dari Allah SWT. Ini sudah menjadi rutinitas bagi dirinya sejak dua tahun ini.
Rani sebenarnya memang beragama Islam, tetapi selama ini hanya KTP saja. Salat bukanlah kewajiban baginya. Tetapi dia sudah dirundung berbagai masalah dan Rani memutuskan untuk memperdalam agama Islamnya selama dua tahun ini. Supaya hatinya menjadi tenang dan tentram.
Rani selalu berusaha menyisihkan waktunya untuk salat lima waktu, untuk menunjukkan penyesalannya kepada Allah SWT.
Jam dua dinihari, terdengar gonggongan Chiko yang semakin menjadi-jadi hingga subuh. Thomas memilih menemani Chiko di luar, supaya tetap diam. Namun tiap ditinggalkan, dia selalu menyalak ribut sekali.
Besoknya, Teteh mendatangi Rani dan bercerita dengan gelisah,
“Mbak Rani, Pak Erik marah melulu ke saya, mbak. Suruh Chiko taruh di belakang, jangan di depan. Berisik banget!”
Rani mulai merasakan kebenaran perkataan keluarganya tentang Pak Erik selama ini, hanya saja dia tidak mengira dia yang akan merasakannya langsung kali ini.
Bahwa Pak Erik itu cerewet dan resek, suka sekali mencari masalah tanpa sebab. Rani masih menahan sabar.
Chiko kembali menggonggong tiada henti.
Saat itu, Rani sedang menyiram tanaman-tanaman di kebun depan. Dilihatnya ada motor yang parkir sembarangan depan teras rumahnya.
Dilihatnya, Victor menantu Pak Erik sedang duduk-duduk dengan santai depan teras rumahnya. Rumah Pak Erik berseberangan dengan rumahnya.
Rani masih kesal dengan kelakuan Pak Erik yang resek dan cari ribut melulu. Dengan tegas, dia menegur Victor,
“Maaf Bang, saya mau menyiram kebun depan. Motornya tolong dipindahkan ke dalam rumah Bang Victor ya. Nanti kalo basah kena air, Bang Victor malah marah ke saya.”
Pak Erik yang sedang mencuci mobil depan rumahnya, begitu mendengar teguran Rani yang galak. Dia menjadi ciut hatinya, tidak berani mencari masalah dengan Rani. Dia tahu Rani tidak takut dengan dirinya, dan dia sangat sadar jika Rani orangnya memang galak.
Pak Erik memang lebih berani cari masalah dengan Teteh ataupun Vera dan suaminya, karena dia menganggap Teteh lebih rendah daripadanya. Dia juga tidak terlalu mengenal Vera dan Thomas. Sedangkan Rani, dulu dia sering bertegur sapa dengan Rani tetapi sekarang dia malah berani cari ribut sendiri cuma gara-gara Chiko.
Dengan reflek dia tidak berani berselisih dengan Rani, karena dia sangat mengetahui dengan jelas, Rani bahkan lebih judes daripadanya walau pendiam.
Victor menuruti mertuanya sembari melirik Rani yang cemberut banget. Bahkan dia melihat Thomas hanya diam saja memandangi mereka.
Tiga hari berturut-turut, Chiko masih saja ribut menyalak tidak ada henti-hentinya. Kadang-kadang sehari bisa diam saja, besoknya menyalak terus.
Rani makin meningkatkan penjagaannya dengan banyak berdzikir dan juga selalu memutar murottal surat Al-Baqarah dari awal sampai akhir. Tidak lupa diputar juga murottal ayat Kursi.
Berulangkali Vera marah-marah kepada Rani, karena dia tidak tahan mendengar gonggongan Chiko yang sangat mengganggu. Belum lagi omelan dari Pak Erik,
“Anakku kan baru saja melahirkan bayi! Anjingnya berisik sekali, tidak bisa ditaruh di belakang saja!?”
“Rani kan ga ngerasain diomelin langsung sama Pak Erik! Kalau tidak Teteh, ya Thomas atau malah aku!” Vera mendongkol sendiri setiapkali mendapatkan respon Rani yang tampak tidak perduli.
Suatu hari, ketika Rani mengunjungi Chiko yang masih selalu bersikap gelisah, dia teringat sesuatu.
Kakaknya, Vera, sempat menawarkan bantuan untuk menghubungi guru holistiknya yang juga merupakan seorang empath. Sempat ditolaknya, karena Rani masih ingin memeriksa dulu apa yang salah di lingkungan sekitar kandang Chiko.
Tetapi masih belum ada jawaban yang memuaskan. Rani merenung lagi, mengingat-ingat lagi saran dari kakaknya.
Mungkin ada baiknya dia mencoba cara ini.
Dia memasuki ruang keluarga dan menghampiri Vera yang sedang bekerja.
“Mbak Vera, aku minta tolong dong sama kamu, untuk bertanya kepada temanmu yang empath, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada Chiko?”
Vera yang terhenti mengetik di laptopnya untuk mendengarkan adiknya, mengangguk.
“Oke, nanti kuhubungi temanku tentang Chiko.”
Rani bertanya dengan penasaran,
“Memang bagaimana cara kerja temanmu?”
“Kita harus mengirim foto atau video, pokoknya mata Chiko terlihat jelas. Nanti temanku yang melihat ke dalam matanya.”
“Oh begitu. Coba aku videoin dia.”
Rani kembali lagi ke kandang Chiko dan berusaha mencermati anjingnya dengan teliti. Tak ada yang aneh dan Chiko sangat nyaman bersama Rani.
Rani sudah mengirim videonya ke kakaknya lewat WhatsApp.
Rani menjadi kasihan, dan ikut menemani Chiko sebentar supaya dia bisa tidur sebentar. Satu jam cukup.
Tetapi begitu ditinggal lagi, Chiko kembali ribut menyalak tak ada hentinya. Tak ingin ditinggal, bahkan kadang dia menangis meminta tolong.
Sejam kemudian, Vera memanggil Rani dan berkata,
“Dek. Kata temanku, Chiko ribut terus karena dia ingin melindungi kita semua. Ada virus yang datang dan dia yang ingin menerima sakitnya, supaya kita tetap aman.”