Siang keesokan harinya, Rani menunggu Ismanto di mal ternama di sebuah bilangan Jakarta Selatan. Kebetulan kantor mereka berdua berdekatan. Sehingga mereka bisa memilih mal ternama ini untuk bertemu muka.
Rani memasuki salah satu kafe kopi, dan memesan caramel macchiato kesukaannya.
Rani baru saja menyeruput kopinya ketika Ismanto datang menghampiri mejanya.
“Hai Rani, apa kabar? Lama tidak bertemu kamu!”
Rani hanya tersenyum dan Ismanto langsung menyerahkan tas plastik kepadanya.
“Ini ada beberapa bungkus bubuk kemenyan, kubuat khusus untukmu. Sudah kudoakan dan pada saat kamu menaburkannya ke setiap pojok dalam dan luar rumahmu dan sepanjang pagar depan rumahmu, jangan lupa berdoa kepada Allah SWT meminta perlindungan dari Allah. Bila perlu, ucapkan doa Al-Fatihah juga boleh. Semoga berhasil ya, Rani!”
“Terima kasih, Is!” jawab Rani, mengambil bungkusan tas plastik hitam dari laki-laki itu. “Lihat menu itu, kamu mau makan apa, aku yang bayarin kamu.”
Ismanto tertawa dan langsung menunjuk foto menu makanan yang diinginkan olehnya.
Rani mengangguk mengiyakan. Dia menunjuk kopinya dan berkata,
“Kuhabiskan kopi ini dulu. Kita mengobrol dengan santai dulu, yuk!”
Ismanto tersenyum setuju.
Malamnya Rani mengetuk pintu kamar Vera.
“Ada apa, Rani?” sapa Vera, membuka pintu kamarnya.
Rani memberi isyarat dengan tangannya. Mengajak kakaknya keluar kamar untuk membicarakan sesuatu.
Mereka berdua sudah berada di ruang keluarga. Rani berbisik kepada kakaknya,
“Bubuk kemenyan sudah ada di tanganku. Kamu akan kasih itu ke mas Thomas?”
Vera menggoyangkan tangannya berulangkali dengan cepat. Menolak ajakan Vera.
“Jangan, aku akan semakin dimarahi oleh mas Thomas. Dia takkan paham seperti apa kearifan lokal dipadu dengan agama. Sebaiknya kamu saja yang menaburkan bubuk itu, dia tidak akan berani membantahmu. Karena dia sudah tahu sifatmu yang keras.”
Rani melanjutkan bisik-bisiknya lagi,
“Kemarin saja aku hampir diomeli lagi oleh mas Thomas soal kamu, tapi aku sudah bilang sama dia. Bahwa kita tidak boleh ribut lagi, karena bisa saja itu pengaruh dari “perempuan” itu. Kita kan mau “mengusir” perempuan itu dari rumah kita, maka dia melawan kita. Caranya membuat kita ribut sendiri.”
Tanpa sadar, Rani tersenyum dan membatin,
“Wah, tumben kamu sadar ya. Biasanya semaunya kamu sendiri.”
Rani merenung lagi,
“Bisa jadi karena doa-doa kami yang tekun, dia malah semakin melawan. Pantas saja Chiko tidak berhenti juga ributnya. Memang benar ini tergantung dari level kemampuan kami. Kami memang harus meminta bantuan kepada orang yang lebih mampu.”
Rani bersyukur dalam hati, mempunyai teman seperti Ismanto yang dapat memberi solusi terbaik untuk permasalahan mereka.
Meskipun demikian, Rani tetap cemas-cemas berharap masalah mereka kali ini benar-benar selesai dan tidak berlarut-larut lagi. Dia tetap berdoa memohon perlindungan dari Allah SWT.
Dia juga lelah menghadapi tingkah Pak Erik yang reseh bukan main, terutama anaknya Vita yang tidak berhenti-henti mengeluh. Tetapi dia selalu berusaha menjaga ketenangan hatinya supaya tetap waras.