Fatma memperhatikan Ismanto dan Anjani dengan tajam, dari kejauhan. Dilihatnya Ismanto selalu bahagia setiapkali Anjani berada di sampingnya.
Fatma sangat cemburu melihat kedekatan mereka berdua, tetapi dia tak berani berbuat macam-macam. Karena level kekuatan Fatma masih kalah jauh dibanding dengan Anjani, walaupun dia lebih lama menjadi hantu daripada Anjani. Dia harus menggunakan siasat licik jika dia ingin mendapatkan cinta Ismanto.
Ismanto dan Anjani keluar dari kafe, ketika Fatma mendengar suara teguran dari belakang.
“Apakah kamu hantu yang mengalahkan spirit jahat yang pernah tinggal di sini?” tanya seorang laki-laki tak dikenal kepada Fatma.
Fatma melirik lelaki berkulit putih itu dan dilihatnya laki-laki itu berambut gondrong sebahu. Lumayan ganteng. Dia memakai kaos hijau tua dan celana jins hitam. Fatma tak bisa melihat seluruh wajahnya, sebab laki-laki itu memakai kacamata hitam dan masker.
“Siapa yang bertanya?” Fatma balik bertanya.
“Seseorang yang sedang mencari bantuan.”
Mendengar jawaban laki-laki itu, Fatma menunjuk ke arah Anjani yang sedang berjalan dengan Ismanto.
Laki-laki itu menatap ke luar jendela. Dia terlihat kaget dan memicingkan mata. Dia bertanya lagi,
“Perempuan itu!?”
Fatma mengangguk.
Laki-laki itu mengernyitkan kening. Dia sedang berpikir keras.
“Terimakasih atas bantuannya.”
Siang bolong itu, Ismanto sedang berjalan berdua dengan Anjani dari kafe Rumah Kopi ke kantornya, ketika dia mendengar suara seseorang memanggilnya dengan keras, “Is! Ismanto!”
Ismanto menggunakan earphone, yang disamarkan agar tidak ketahuan jika Ismanto sedang berbicara dengan Anjani yang tidak kasatmata di sebelahnya.
Siang itu, Ismanto mengenakan kaos oblong ungu tua dan celana jins biru tua. Tak lupa dia mengenakan masker batik.
Mereka berdua berhenti.
Ismanto menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang pria berambut gondrong sebahu. Wajahnya putih bersih, cukup ganteng. Dia baru saja keluar dari kafe Rumah Kopi itu.
Laki-laki itu berkaos hijau tua dan celana jins hitam. Dia juga memakai kacamata hitam dan masker hitam.
Ismanto tak mengenali pria yang memanggilnya. Dia mencermati suara laki-laki itu,
“Hey Is, kamu masih ingat aku tidak?”
“Hai, Bagas!” sapa Ismanto dengan senang sekaligus kaget, dia melambai kepada laki-laki itu.
Bagas mendekati Ismanto.
“Hai Is, sudah lama sekali kita tak bertemu. Wow, kamu sekarang terlihat semakin keren!”
Kedua laki-laki itu sesaat hendak saling berpelukan, melepas rasa kangen sejenak. Tetapi tidak jadi, dan mereka berdua tertawa karena mereka sadar jika mereka masih harus menjaga jarak, walaupun mereka memakai masker. Hal ini sangat penting demi mencegah penularan Covid-19.
“Bagaimana kabar kerjaanmu di tengah masa pandemi ini?” Ismanto bertanya.
“Sedang mencoba bertahan,” jawab Bagas.
Dia memperhatikan Anjani dengan gugup. Tak percaya dengan apa yang dia lihat, dia bertanya kepada Ismanto sembari menunjuk Anjani,
“Hantu siapa ini? Dia hantu kan?”
Ismanto mengangguk. “Ya. Kamu kenal dia, Bagas?”
Ismanto ganti memandang Anjani, meminta jawaban dari hantu wanita itu. Anjani segera menjawab,
“Aku tak kenal temanmu. Dia juga bisa melihat hantu? Siapa dia?”
Bagas tertawa ringan dan menimpali,
“Ah, bukan soal penting! Tak usah dipikirkan.”
Bagas membungkuk sedikit sambil memperkenalkan diri kepada Anjani, “Nama saya Bagas Trimabodo. Biasa dipanggil Bagas.”
“Bagas sahabatku sejak kuliah. Sudah cukup lama kami tidak bertemu, mungkin ada sepuluh tahunan ya?” Ismanto menjelaskan kepada Anjani.
Bagas mengangguk mengiyakan cerita Ismanto. Tetapi Anjani hanya terdiam. Bagas tersenyum melihat dinginnya sikap Anjani kepadanya. Tatapan matanya penuh arti.
Bagas menepuk pundak Ismanto dan berkata dengan halus,
“Bolehkah aku meminta waktu berdua denganmu?”
Ismanto menoleh memandang Anjani, meminta persetujuannya. Anjani paham maksud laki-laki itu dan mengangguk.
Anjani menghilang seketika itu juga.
Bagas dan Ismanto terdiam selama beberapa lama dan terdengar suara Bagas,
“Sudah berapa lama kamu bersama hantu wanita itu?”
“Pertama kali bertemu dengannya, aku rasa sekitar tiga-empat bulan lalu.”
Bagas tersenyum. Bagi Ismanto, senyum Bagas terlihat aneh.
“Kenapa senyummu seperti itu?”
Bagas menggeleng tersenyum. Dia menepuk dada Ismanto pelan,