Hari sudah malam, ketika Anjani melangkah ke lift apartemen bersama Ismanto dan berkata,
“Aku akan mengantarmu hingga ke pintu masuk. Aku harus pergi. Ada urusan sendiri. Kata Fatma, ada hantu yang mulai suka mengganggu kafe Rumah Kopi. Dia meminta bantuanku.”
Ismanto mengangguk. “Hati-hatilah, Anjani. Jangan sampai kamu menghilang duluan. Masih banyak yang mau kubicarakan denganmu.”
Anjani tersenyum mengangguk dan bertepatan dengan itu, pintu lift terbuka. Ismanto menoleh memandang Anjani, tetapi hantu wanita itu sudah tak ada lagi.
Laki-laki itu menghela napas dengan berat. Kadang-kadang, dia merasa kecewa dan tidak puas karena Anjani tidak mencintainya sama sekali. Tapi dia tak ingin memaksakan kehendak.
Masih teringat dengan segar di ingatannya, kejadian berempat bersama Bagas dan Rena baru saja.
“Rena!” pikirnya dalam hati. “Semoga ingatan Rena tentangku tidak akan kembali lagi!”
Bersamaan dengan itu, dia merasakan ada suatu hal yang dirasanya akan sangat mengganggunya di kelak hari. Hanya saja, dia tak tahu apa itu, bagaimana wujud dan gambarannya.
Dia sempat menggaruk-garuk kepalanya. Berpikir keras, tetapi serasa tidak ada jawabannya sama sekalipun, meski dia sudah berusaha untuk mencari tahu lebih mendalam lagi.
Menaruh sepatunya di rak sepatu, setelah membuka pintu masuk apartemennya. Ismanto menyalakan televisinya, agar suasana apartemennya tidak terasa lengang.
Laki-laki itu menyusuri koridor menuju kamar tidurnya. Dia membuka pintu kamarnya ke arah dalam. Bagaikan dalam gerak lambat, dia melihat suatu kejadian yang tidak biasa, yang membuat dia paham dia sedang mengalami kilasan masa lalu.
Dilihatnya tangan seseorang yang memakai jam tangan merk Tag Heuer memegang foto Anjani, yang memakai sweater ungu muda pastel.
Ismanto melihat dari tangan ke atas, dilihatnya punggung seorang laki-laki yang berperawakan tinggi dan tegap. Potongan rambutnya cepak. Memakai baju kaos oblong hitam dan celana jins biru tua, sneaker Converse hitam putih yang bertali.
Terdengar suara laki-laki itu,
“Bro, ini fotonya. Aku ingin kamu memantrai perempuan itu, supaya dia tidak bisa menikah dengan siapa pun.”
Ismanto tercengang mendengar suara laki-laki itu. Dia sangat mengenal suara siapa itu. Tapi bagaimana mungkin? Harusnya tidak seperti itu.
Terdengar suara laki-laki itu lagi dan katanya,
“Jangan sampai dia bebas, bro. Kalau dia bebas, itu baru akan bisa setelah aku memaafkannya. Dia takkan pernah mendapat ampun dariku! Dia sudah sangat menyakiti hatiku! Aku ingin dia selalu menderita sepanjang hidupnya, sampai dia mati sekali pun!”
Ismanto semakin syok mendengar kata laki-laki itu. Bola matanya semakin membesar. Dia benar-benar tak percaya kepada perkataan laki-laki itu, yang terdengar sangat jahat di telinganya.
Air matanya menetes.
Kini dia tahu mengapa Anjani selalu sedih dan menatap kosong ke luar arah jendela setiapkali dia duduk di meja dekat jendela kafe itu.
Dilihatnya tangan laki-laki yang mengutuk Anjani, menyerahkan foto close-up Anjani kepada sebuah tangan pria yang kasar. Ismanto meneliti lagi, tampak seorang pria berusia tiga puluh lima lebih, rambutnya gondrong sebahu. Wajahnya putih bersih, cukup ganteng. Tak ada kesan jahat sama sekali. Pakaiannya serba hitam.
Ismanto terpana. Dia tak percaya, sebab sosok di depannya adalah Bagas, salah satu sahabatnya sendiri!
Kini dia ingat, Bagas tidak hanya bekerja sebagai marketing produk elektronik tetapi juga mempunyai pekerjaan sampingan yang gelap, yakni dukun hitam.
Air mata Ismanto semakin berlinang.
Di sebelah kanan Bagas terlihat sebuah tempat bakar kemenyan dan beberapa bahan lainnya yang tak dimengerti oleh Ismanto.
“Kamu ini dukun kan? Bisa kan melakukan hal yang kuminta?” kata laki-laki itu.
“Bisa, Is. Untuk itu tentu saja ada bayarannya,” sahut Bagas.
“Tenang saja. Berapapun akan kubayar, asal perempuan yang di foto ini menderita seumur hidup, tak bahagia dan tidak bisa menikah dengan siapa pun!”
“Baik,” sahut Bagas, mengambil foto Anjani dari tangan pria itu. Bagas mengambil sebuah botol, tampaknya isinya adalah sebuah ramuan entah apa itu.
Ismanto mendengar suara Bagas lagi,
“Katamu kemarin, kamu ingin melupakan wanita ini. Ini ramuan lupa dariku, minumlah saat magrib dan bakar satu kemenyan saja. Aku yakin kamu akan bisa melupakan wanita itu.”
“Apakah suatu saat aku bisa teringat lagi kepadanya?” Laki-laki itu masih ragu-ragu.
“Tidak akan. Nanti aku akan menghipnotismu juga, sebagai upaya pengamanan lapis terakhir. Aku jamin kalian takkan pernah bertemu lagi. Kamu senang. Dia menderita.”
Air mata Ismanto berjatuhan semakin banyak ke pipinya.
Pria itu akhirnya membalikkan badannya.
Seolah dalam gerak lambat, Ismanto melihat siapa pria itu dengan jelas. Dirinya sendiri. Seorang Ismanto.
Hati Ismanto sangat sedih. Dia tak menyangka sama sekali.
Ismanto jatuh terduduk, air matanya turun dengan deras namun tanpa suara. Hatinya benar-benar sangat sakit.
Terbayang sebuah memori dimana hantu Anjani tersenyum bersama dengannya di atap apartemen Ismanto, bercerita tentang bulan purnama dan Hotel del Luna, salah satu drama Korea yang populer di tahun 2019.
Kepalanya terasa mau pecah. Dia kesakitan dan memegang kepalanya. Berusaha mengatur napasnya dengan baik.
Ismanto tahu arus ingatannya yang terkunci sedang mengalir dengan deras ke luar tanpa kendali.
Perlahan-lahan, sekeping memori demi memori bermunculan di benaknya.
Dia teringat, ada momen dimana waktu sepuluh tahun yang lalu, dia sangat cemburu melihat Anjani tertawa bersama dengan lelaki pilihannya.
Ismanto menangis menggerung-gerung. Rasa sesal mulai menyesaki setiap relung hatinya.
Kepala Ismanto tertunduk, dia melihat kedua telapak tangannya, menangis semakin hebat. Dia paham apa yang sedang terjadi sekarang ini.
Takdir sedang menegurnya. Bahwa kuasa Yang Tertinggi tetap diatas segalanya. Meskipun dukun itu sudah memantrai Anjani dan membuat Ismanto lupa kepada masa lalunya, takdir tetap mempertemukan Ismanto lagi dengan Anjani, yang kini sudah menjadi hantu yang tak bisa pergi ke alam baka.
Takdir sudah menunjukkan caranya sendiri, bahwa Ismanto benar-benar harus ikhlas dan dapat memaafkan Anjani agar Anjani bisa terbebas dari penderitaannya.
Tangis Ismanto semakin keras, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Dia sangat menyesal sudah pernah mengutuk Anjani begitu dalam.
Ismanto tiba-tiba teringat sesuatu, dia segera berlari ke garasi rumahnya dan memacu motornya ke suatu tempat. Dia melihat jam tangannya, sudah pukul tiga malam.
Setelah pertigaan jalan, ada sebuah gang kecil. Dia berbelok ke sebelah kiri, memasuki ke dalam gang dan sampai di sebuah rumah dua tingkat. Rumah itu dicat warna krem. Di dinding sebelah kiri pintu masuk rumah itu, terdapat sebuah ornamen tapal kuda yang sudah berkarat.
Dia menggedor-gedor pintu masuk itu, dengan keras sekali. Memecah heningnya malam, padahal masih jam setengah empat pagi di mana orang-orang seharusnya masih tertidur pulas.
Muncul beberapa orang yang muncul dari berbagai rumah, mencari sumber suara gaduh itu.
Pintu masuk telah terbuka. Wajah Bagas muncul ke luar. Mukanya terlihat sangat mengantuk, baru terbangun dari tidur pulas.
“Berisik!” kata Bagas, menempelkan telunjuk ke mulutnya. “Kamu tahu, ini sudah jam berapa?!”