Jam tiga sore, Ismanto sudah berada di kafe Rumah Kopi. Dia memesan es Amerikano, untuk mengatasi telernya akibat beberapa gelas sloki wiski yang ditenggaknya.
Untuk mengisi perutnya yang kosong, dia memesan sandwich tuna.
Seperti biasa, Fatma sudah duduk bersamanya. Fatma selalu senang menemani Ismanto.
Setengah jam kemudian, Bagas datang dan sempat menatap Fatma dengan pandangan aneh. Namun dia tersenyum saja kepada Fatma.
Fatma mengenali Bagas, yang pernah bertanya kepadanya mengenai spirit jahat yang pernah tinggal di kafe itu sebelum Anjani.
Fatma sangat tidak menyukai aura Bagas setiapkali dekat dengannya. Meskipun dia sendiri adalah hantu korban kebakaran yang kerapkali menakutkan bagi sejumlah pengunjung kafe, dia selalu tidak nyaman jika berhadapan dengan Bagas.
Sekali melihat, Fatma tahu level kesaktian Bagas jauh lebih tinggi daripadanya. Bahkan mungkin selevel dengan Anjani, yang sangat disegani olehnya.
Bagas duduk di samping Ismanto, sejenak melirik kawannya dan Fatma. Dia tersenyum aneh sekali.
Ismanto menegur kawannya,
“Kamu pesan apa di kasir? Sudah belum?”
“Belum, kopi apa yang kamu minum?”
“Es Amerikano, supaya aku tetap waras. Aku tadi minum tiga gelas sloki wiski di minibarmu.”
Bagas bangkit dan berkata,
“Oke, aku akan ke kasir dulu.”
Selesai membayar, Bagas menoleh memandang Ismanto yang sedang membaca tabletnya dan Fatma yang selalu tersenyum bahagia setiap memandang Ismanto.
“Wow! Ismanto ternyata banyak juga ya penggemarnya. Sayang sekali, hati Ismanto hanya untuk Anjani seorang. Itupun sampai sekarang, Anjani sama sekali tidak jatuh cinta terhadapnya.”
Bagas berpikir lagi,
“Aku penasaran! Seperti apa ya, sikap Fatma nantinya, jika suatu saat dia ditolak oleh Ismanto?”
Bagas tersenyum licik. “Aku yakin Fatma akan marah sekali kepadanya. Di saat itu, siapa ya, yang akan melindungi Ismanto? Aku atau Anjani?”
Bagas berpikir lagi dengan rasa penasaran yang semakin bertambah,
“Aku sedikit bingung. Kalau memang Anjani tidak jatuh cinta kepada Ismanto, mengapa dia lumayan protektif ya terhadap temanku yang itu?”
“Kak, capuccino Kakak sudah siap. Silakan diambil ya, Kak,” barista setempat menegur Bagas.
Bagas mengambil segelas capuccino hangat dan membawa kembali ke meja Ismanto.
Diseruputnya dengan nikmat, Bagas senang sekali. Rasa kopinya memang enak. Tidak salah jika Ismanto memilih kafe ini sebagai tempat nongkrongnya.
Terdengar suara Ismanto,
“Aku mau ke toilet sebentar.”
Tidak basa basi, Bagas segera mengambil kesempatan itu untuk mengobrol dengan Fatma lebih detail.
“Halo, kita belum berkenalan. Boleh aku tahu siapa namamu?”
“Fatma.”
Bagas tersenyum. “Oh Fatma, ya? Namaku Bagas. Ngomong-ngomong, kamu sangat menyukai Ismanto ya?”
Fatma merasa malu sekali ditanyai langsung seperti itu oleh Bagas, seseorang yang sama sekali tidak disukai olehnya. Refleks, dia menundukkan kepalanya tidak ingin menjawab.
Bagas tersenyum berdeham. Dia sudah tahu apa arti dari sikap Fatma yang tiba-tiba menundukkan kepalanya. Itu artinya Fatma memang sangat suka kepada Ismanto.
Bagas bertanya lagi,
“Kalau begitu, aku yakin, kamu pasti sudah tahu kalo Ismanto jauh lebih menyukai Anjani daripadamu ‘kan?”
Fatma mendongak menatap Bagas dengan pandangan mata penuh amarah.
Bagas tersenyum licik lagi. “Jadi, kamu memang sudah tahu ya? Cuma masalahnya, kamu masih belum bisa melawan Anjani dan Anjani pun lebih cerdas daripadamu. Tidak bisa diadu domba pula.”
Fatma tidak bisa berkata apa-apa, begitu mendengar perkataan Bagas yang sangat menohok.
“Boleh aku kasih saran kepadamu, Fatma? Sebagai sahabat Ismanto sejak lama, sebaiknya kamu segera menjauhi Ismanto sebelum rasa sukamu berubah menjadi dendam. Aku sendiri adalah dukun hitam, tetapi aku tidak suka jika suatu saat kamu akan mencelakai sahabatku sendiri, seandainya cintamu kepadanya tidak kesampaian. Kalau hal ini sampai terjadi, kamu tahu sendiri kan bagaimana hasil akhirnya nanti?”
Fatma bersuara dengan terpaksa, tidak bisa menahan diri lagi dari perkataan Bagas yang selalu menohok.
“Memang bagaimana hasil akhirnya nanti?”
“Kamu tetap akan mati, dan musnah dari dunia ini. Lawanmu sekarang sudah dua. Anjani dan aku. Masing-masing dari kami bisa menghancurkanmu dengan mudah. Kamu sadar itu kan?”
Fatma terdiam, sosoknya bergetar menahan amarah. Tetapi dia tidak berani menyerang Bagas saat itu juga. Dia menahan diri.
Bagas tersenyum jahat lagi. Katanya lagi,
“Baguslah kalau kamu sudah paham itu.”
Tidak lama kemudian, Ismanto balik lagi ke mejanya dan bertanya kepada mereka berdua.
“Apa yang sudah kalian bicarakan? Kalian begitu serius.”
Bagas menyeruput capuccinonya lagi. Dia menyahut,
“Ah, bukan apa-apa kok. Kami hanya mencoba untuk saling mengenal diri. Bukan begitu, Fatma?”
Fatma hanya mengangguk terdiam. Dia sudah tidak berani menatap Ismanto lama-lama. Dia lebih takut terhadap Bagas, yang memang sudah sangat menakutkan dari aura dukun hitamnya.
Ismanto memandang ke sekelilingnya beberapa kali. Membuat Bagas bertanya kepadanya,
“Sampai sekarang Anjani belum muncul ya?”
Ismanto mengangguk singkat. Bagas melirik Fatma. Tampak Fatma bergetar menahan cemburu. Bagas tersenyum dan bertanya kepada Fatma,
“Kamu tahu di mana Anjani? Aku juga ingin bertemu dengannya.”
Fatma bertanya keceplosan,
“Apa sih istimewanya Anjani?”
Bagas dan Ismanto saling melirik dan menatap Fatma.
“Anjani memang sudah istimewa di hatiku sejak lama. Aku hanya perlu mengatakan sesuatu yang penting kepada dia,” jawab Ismanto.
Bagas tersenyum licik dan menambahkan lagi,
“Bagiku, Anjani memang sangat unik. Membuatku berdecak kagum setiapkali memikirkan Anjani.”
Fatma menggebrak meja dengan keras. Ismanto dan Bagas tersentak kaget. Bukan hanya mereka, pengunjung kafe lain juga sama terkejutnya.
Mereka memeriksa suara apa itu yang menggelegar, tetapi tidak ada barang yang jatuh atau pecah. Mereka hanya bisa heran dalam diamnya.
Bagas tersenyum jahat dan menatap Fatma. Matanya berkedip, memberi isyarat kepada hantu wanita itu.
Fatma tak bisa berkutik lagi. Dia mengerti Bagas sedang memperingatkannya untuk tidak berbuat macam-macam.
Ismanto yang tidak memahami bagaimana situasi dan kondisinya pada saat itu, segera bertanya kepada Fatma,
“Kenapa kamu begitu? Ada yang salah?”
Fatma hanya terdiam, menahan amarah.