Ismanto terduduk di lantai dan batuk-batuk hebat untuk mengatur napas lagi setelah dicekik sedemikian kuat oleh Fatma.
Fatma tertawa getir dan berkata,
“Tak kusangka sama sekali, jika Anjani akan mampu menangani spirit jahat yang kukirim kepadanya dengan cepat sekali...”
Anjani telah berdiri di depan mereka berdua. Rupanya setelah memusnahkan spirit jahat yang tak perlu banyak usaha, Anjani kembali lagi ke kafe Rumah Kopi.
Yang membuat Anjani berlama-lama, adalah petunjuk-petunjuk tentang keberadaan hantu jahat itu yang sangat menyulitkan. Bersyukur, Anjani cerdas dan mampu memecahkannya walau harus memakan waktu lama. Sehingga ketika menemukan hantu jahat yang dimaksud oleh Fatma, dengan mudah Anjani menghancurkannya.
Tak disangka, dia melihat Fatma hendak berbuat jahat kepada Ismanto. Tentu saja Anjani marah besar, begitu melihat ada hantu lain yang berani melakukan pembunuhan di wilayah kekuasaannya.
Anjani segera memaku tubuh Fatma ke dinding dengan kekuatannya.
“Berani-beraninya kamu berbuat kurang ajar!?” Anjani membentak. Suaranya kecil namun terdengar berwibawa.
Fatma tertawa getir. Dia memandang tajam ke arah belakang Anjani.
“Tsk! Tak kusangka kamu bahkan dapat membawa Malaikat Maut bersamamu. Tidakkah kamu sadar jika kamu begitu istimewa, sampai-sampai bisa diikuti oleh Bayangan Hitam itu?”
Ismanto dan Anjani sama-sama kaget. Ismanto segera bangkit dan mengecek apakah perkataan Fatma benar atau tidak. Anjani tetap menjaga cengkeramannya kepada Fatma tetap stabil, perlahan-lahan dia menoleh ke belakang.
Anjani sungguh kaget melihat kehadiran Malaikat Maut. Sekali pun Anjani pernah berhadapan dengan Sang Pencabut Nyawa itu, dia tetap merasa ngeri melihat rupa Malaikat Maut yang sesungguhnya. Bagaimana rupanya, Anjani tak dapat menggambarkannya dengan kata-kata. Dia memalingkan muka, enggan menatap Malaikat Maut.
Meskipun Ismanto mempunyai kemampuan dapat melihat hantu, penglihatannya tidaklah sebaik Anjani. Sebab Anjani adalah hantu, yang sudah meninggalkan raganya. Sedangkan Ismanto adalah seorang manusia, maka laki-laki ini hanya mampu melihat Malaikat Maut sebatas tampilan luarnya. Dimana Malaikat Maut terlihat sebagai sebuah bayangan hitam yang tak berwujud.
Bayangan hitam itu datang mendekat. Setiap gerak siluetnya terasa semakin mencekam dan memancarkan aura kegelapan yang sangat dalam.
Tawa getir Fatma terdengar semakin keras.
Bayangan hitam itu mendekatkan telunjuknya dengan perlahan ke roh Fatma dan Fatma menjerit keras sekali.
Anjani dan Ismanto mau tak mau bergidik diam-diam mendengar suara jeritan Fatma yang terdengar sangat pilu dan mengiris hatinya.
Anjani perlahan-lahan melirik ke atas. Hatinya sangat tercekat, ketika dia menyaksikan bagaimana lenyapnya sosok hantu Fatma yang beterbangan bagaikan debu, setelah hanya disentuh begitu saja oleh Malaikat Maut.
Malaikat Maut pun menunjukkan tanda-tanda hendak pergi dari situ, dan melewati Anjani. Hantu wanita itu segera memalingkan muka, menatap ke bawah tanah.
Anjani diam-diam berpikir,
“Sungguh aku iri kepada Fatma. Meskipun dia musnah sebagai sosok hantu jahat, setidaknya dia bisa pergi dari dunia baka ini.”
Malaikat Maut berhenti dan menoleh memandang Anjani. Dia berkata dengan dingin,
“Belum waktumu, Anjani. Sabarlah, saat itu pasti akan datang kepadamu. Orang yang mengutukmu ada di depan matamu selama ini. Selesaikan dulu tugasmu di dunia fana ini dan kamu akan bisa menghadap kepada Allah lagi.”
Anjani terkejut ketika mengetahui dirinya ditegur oleh Malaikat Maut, sebuah momen yang tak disangka sama sekali. Anjani hanya diam membisu, berusaha mencerna semua perkataan Malaikat Maut, yang kini telah menghilang dari hadapannya.
Anjani berlari mendekati Ismanto, yang sedang mengurut-urut lehernya yang baru saja dicekik oleh Fatma.
“Apa-apaan kamu, sampai bisa mau dibunuh oleh Fatma? Beruntunglah kamu, karena kebetulan aku berada di dekatmu saat kejadian itu.”
Ismanto tak berkata apa-apa. Dia tahu Anjani ada benarnya. Namun ada yang lebih penting baginya. Dia sangat yakin, Anjani sudah mendengar perkataannya ketika dia ditanya oleh Fatma, apa bedanya antara Anjani dan Fatma sehingga Ismanto lebih condong kepada Anjani.
Sejak Ismanto mengetahui dirinyalah yang mengutuk Anjani hingga dia tidak pernah damai dan tentram di dunia ini walaupun dia sudah menjadi hantu, laki-laki itu sangat penasaran apakah dari awal Anjani sudah mengenalinya.
Ada lagi, yang lebih ditakutkan olehnya. Masih terngiang dengan kuat di telinganya, suara yang tak berwujud, yang tak lain petunjuk dari Malaikat Maut untuk Anjani barusan,
“Orang yang mengutukmu ada di depan matamu selama ini.”
Ismanto menjadi gelisah bukan main. Dia benar-benar takut membayangkan seperti apakah reaksi Anjani jika dia mendengar cerita yang sebenarnya. Dia berpikir lagi,
“Mungkinkah ini sebabnya dia selalu mengikutiku kemana-mana, ketika kedua pandangan mata kami saling bertubrukan di kafe tempo hari itu?”
Anjani menatap lelaki itu dan berseru,
“Ayo kita pulang ke apartemenmu!”
Ismanto mengangguk mengiyakan.