“Anjani, bolehkah aku tahu di mana makammu?” Ismanto bertanya dengan hati-hati, pagi itu.
Mereka berdua menghabiskan malam di lantai atap apartemen itu hingga matahari terbit.
Mereka berdua berjalan dari lantai atap ke apartemen Ismanto. Anjani menatap Ismanto dengan tajam. Kedua tangannya tersilang di dadanya. Sahutnya,
“Untuk apa kamu menanyakan lokasi makamku?”
“Jika suatu saat kamu bisa pulang kembali ke Pencipta-mu, aku ingin sekali mengunjungi makammu. Aku berjanji akan selalu mendoakanmu. Aku ingin menebus semua kesalahanku kepadamu, Anjani.”
Anjani terdiam, berpikir untuk beberapa saat.
“Kamu akan sulit menemukan makamku. Aku sudah pernah bilang padamu, tak ada yang mengingatku lagi. Bahkan mendoakanku tak ada satupun orang sama sekali. Bukankah itu sebabnya aku menjadi hantu gentayangan selama bertahun-tahun?”
Ismanto sedih.
“Anjani, aku sungguh-sungguh ingin membebaskanmu dari kutukan ini. Setidaknya, beritahulah aku!”
Anjani menatapnya dengan hampa.
“Makamku di kompleks makam keluargaku. Perjuanganmu sepertinya akan panjang, jika kamu ingin melihat makamku lagi.”
Ismanto melirik tidak paham arti perkataan Anjani yang terdengar getir. Dia segera mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang negatif dan berkata,
“Terima kasih, Anjani, untuk kepercayaanmu,” kata Ismanto.
“Aku harus pergi, Is.”
Anjani menghilang begitu saja, tak memperdulikan perkataan Ismanto.
Ismanto mengomel sendiri,
“Selalu dia begitu. Pergi ya pergi. Tak menunggu perkataan apapun dariku. Benar-benar aku tak ada artinya di mata dia, bahkan dari hidup sampai menjadi hantu sekarang.”
Namun Ismanto yang sekarang, sudah berbeda dari Ismanto yang dulu. Jika dia yang dulu, penuh dendam dan posesif setiapkali ditinggal oleh Anjani begitu saja. Berbeda dengan dia yang sekarang, laki-laki ini bahkan sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tidak ada gunanya semakin mendendam kepada hantu yang sudah tidak mempunyai rasa lagi.
Kini, satu-satunya yang Ismanto inginkan hanyalah kebebasan Anjani dari kutukan hitam itu.
Ismanto membuka pintu gudang di apartemennya. Dicarinya kotak berjudul “Kenangan Masa Kuliah” dan ditemukannya kotak berdebu karena dia sudah lama sekali tidak membuka gudangnya.
Bahkan dia sudah melupakan masa-masa kuliahnya sama sekali. Bisa dibilang karena sakit hatinya kepada Anjani.
Sekarang, dia sudah tidak bisa sakit hati lagi. Yang ada hanyalah rasa sesal yang berkepanjangan.
Ismanto menaruh kotak kenangan itu di meja makannya. Dibukanya dan dilihatnya, ada buku kontak. Ismanto membuka buku dan mencari-cari nama kakak-kakak Anjani yang masih hidup.
Seingat dia, orang tua Anjani sudah meninggal dunia dan tersisa dua kakak Anjani.
Yang tertua adalah laki-laki. Namanya Fajar Alfian. Ismanto berusaha mengingat-ingat umur Fajar sekarang, mestinya sudah berumur lima puluhan. Dia sudah tidak tahu sama sekali bagaimana perkembangan kabar Fajar sekarang.
Yang terakhir adalah perempuan. Namanya Sofia Alista. Sosoknya sangat berbeda dengan sosok Anjani, dari postur badannya. Alista ini lebih gemuk daripada Anjani. Ismanto berpikir,
“Sekarang umur Alista sudah berapa ya? Kalau tidak salah mungkin sudah empat puluh lima ke atas. Kan waktu Anjani meninggal, umurnya masih tiga puluh lima dan aku baru bertemu lagi dengannya sekarang. Seharusnya Anjani sudah empat puluh lima, jika dia masih hidup.”
Ismanto mengingat-ingat lagi,
“Kalau tidak salah, perbedaan umur antara Anjani dan Alista adalah tiga tahun. Jadi bisa dibilang umur Alista sudah empat puluh delapan, dong?”
Dia menelusuri buku kontaknya secara teliti, dengan bantuan jari telunjuknya.
Ismanto melihat nama Fajar Alfian, dan berhenti. Dia berlari ke kamarnya, mencari bolpen dan notes. Dia kembali ke meja makannya, dan mencatat nomor telepon Fajar Alfian yang tertera di buku kontaknya.
Dilanjutkannya lagi penelusuran mencari nama Sofia Alista. Dia sudah menemukannya, dan segera mencatatnya di notes satunya.
Ismanto menjentik notesnya berulang kali, dan menimbang dengan baik-baik, apa saja yang harus dia katakan kepada kedua orang itu.
Dalam sekejap, ide baru berkelebat di benak Ismanto. Dia akan mengundang mereka berdua untuk makan siang.
Ismanto memikirkan bagaimana kata-kata perkenalan yang sopan dan baik, karena mereka sudah belasan tahun tidak berkomunikasi sama sekali.
Ismanto mengambil ponsel pintarnya dan menghubungi nomor Fajar Alfian yang tertulis di notesnya.
“Tidak diangkat-angkat juga, padahal aku sudah mengebelnya tiga kali. Coba gantian aku telepon Mbak Alista.”
Ismanto memencet nomor Sofia Alista di ponselnya. Tetapi tidak diangkat juga.