Malam itu, Bagas dan Anjani telah saling berhadapan di apartemen Ismanto. Saat itu jam dinding di ruang makan telah menunjuk angka sembilan.
Anjani mendekati Bagas perlahan, menatapnya dengan tajam. Sejenak Bagas merasa keder dan dapat merasakan kekuatan Anjani lebih tinggi daripadanya. Tak peduli Bagas sendiri adalah dukun yang pernah mengutuk Anjani, mewujudkan keinginan Ismanto.
“Tak kusangka kamulah yang memantraiku,” ujar Anjani kepada Bagas, menyilangkan kedua tangan di dadanya sendiri. “Aku tak merasakan apa pun saat pertemuan kita yang pertama kali.”
Bagas tersenyum licik dan berkata,
“Aku hanya bekerja. Ada permintaan klien sedemikian rupa, maka aku harus bekerja. Apalagi kalau bayarannya sangat tinggi.”
“Apa kamu tak pernah takut kepada karma?”
Bagas tertawa sinis dan menyahut,
“Mengapa harus takut? Aku anggap itu adalah konsekuensi dari sebuah pekerjaan.”
Anjani terdiam. Didengarnya lagi kata Bagas,
“Aku tak menyangka fotomu sungguh menipu mataku.”
“Foto?” Anjani bertanya kebingungan. “Foto apa?”
Bagas mengeluarkan agendanya dari dalam tasnya dan membuka halaman yang sudah ditandai dengan Post-it, memperlihatkannya kepada Anjani.
Anjani kaget melihat foto dirinya sendiri yang close-up. Dia masih ingat, foto itu adalah foto yang terbaik menurut Anjani. Itu adalah pemberiannya yang spesial kepada Ismanto semasa hidup. Dia benar-benar tak menyangka, Ismanto yang dulu akan berbuat setega itu kepadanya.
“Apanya yang menipu dari fotoku?” Anjani bertanya lagi kepada Bagas.
Bagas tersenyum, mengamati foto Anjani yang ada di agenda itu dan menjawab,
“Dari foto ini, kamu terlihat cantik. Tak kusangka, dilihat secara langsung, walaupun kamu sudah menjadi hantu, kamu bahkan lebih cantik daripada foto ini.”
Anjani tersenyum dingin.
“Aku bahkan tak mengira sama sekali, meski pun sudah kuguna-guna kalian berdua supaya jalan kalian berdua terpisah sama sekali, namun takdir tetap mempertemukan kalian berdua!” pungkas Bagas.
Senyum Bagas terlihat licik di mata Anjani.
Anjani tak mengomentarinya lebih lanjut. Dia segera mengalihkan topik.
“Jadi, siapakah spirit jahat yang ingin kamu enyahkan, hingga membutuhkan bantuan dariku? Aku yakin, kamu bahkan tak peduli aku bakal musnah atau tidak. Yang penting, kamu tetap hidup. Ya kan?”
Bagas tersenyum jahat dan mengangguk.
“Anjani, sungguh terus terang sekali kamu! Ya. Sebenarnya spirit jahat itu adalah peliharaanku sejak aku menjadi dukun hitam. Ada sebuah janji yang sudah kulanggar dan dia sedang menagihnya.”
Anjani tersenyum dingin dan berkata,
“Ah, sungguh kuharap nyawamu melayang di tangannya!”
“Itu takkan terjadi,” kata Bagas dengan percaya diri. “Sepertinya kamu yang akan musnah lebih dulu daripadaku, Anjani.”
Baru saja Bagas selesai berujar, pintu apartemen terbuka. Ismanto telah kembali dari minimarket di kompleks restoran dekat apartemennya.
“Hai kalian, jangan bicara di belakangku, oke?” Ismanto menegur mereka berdua. “Sekarang kita makan bersama dulu. Aku baru saja membeli satu ekor ayam goreng untuk kita makan.”
“Aku takkan menemani kalian berdua. Aku menonton televisi saja,” sanggah Anjani, memegang remote televisi.
Dia duduk di ruang keluarga.
Ismanto mengedikkan bahu dan mengajak Bagas makan bersama. Sesudah makan malam, kedua laki itu berkumpul bersama Anjani di ruang keluarga.
Bagas meletakkan agendanya di meja ruang keluarga. Dia menjelaskan kepada Anjani mengenai piaraannya.
“Aku rasa kamu sudah pernah mendengar tentang dia. Tak bisa kusebut namanya karena aku takut hatimu bakalan gentar. Tetapi bisa kusebutkan ciri-cirinya. Dia memiliki tanduk lima buah, wajahnya sangat mengerikan, badannya berwarna merah. Umurnya sudah lima ratus tahun.”
Kedua mata Anjani melebar. Dia menunjuk Bagas dan berseru,
“Jahat sekali kamu! Aku tahu siapa dia. Namanya memang sangat besar di dunia kami. Kudengar, sebenarnya dia baik dan karena hasil tapanya yang sekian lama, kekuatannya sangat tinggi. Tetapi jika pemiliknya memanfaatkannya untuk hal-hal yang salah dan dalam ranah kejahatan, piaraan itu pun akan berubah menjadi jahat.”
Bagas tersenyum jahat.
“Benar, Anjani. Karena aku sering memanfaatkan dia untuk pekerjaan-pekerjaan hitam, maka dia semakin hitam. Dalam hal ini, aku sudah melanggar salah satu perjanjianku dengannya dan dia sedang memburuku. Sudah berulangkali dia memergokiku, tetapi aku selalu dapat lolos dari cengkeramannya.”
Anjani menggeleng kesal.
“Harusnya kubunuh saja kamu! Kamu benar-benar jahat!”
Bagas tersenyum menyeringai dan menantang Anjani,
“Kalau begitu, bunuhlah aku segera! Mumpung aku masih ada di depan matamu!”
Anjani memukul meja dengan keras dan menghardik dukun hitam itu,
“Sayang sekali, kamu adalah tiketku pulang kembali kepada Sang Pencipta-ku. Maka aku tak bisa membunuhmu.”
Bagas tersenyum licik. Anjani sangat kesal. Ismanto kebingungan bagaimana harus menengahi mereka berdua.
“Di mana dia sekarang? Seharusnya dia sudah ada di belakangmu, bukan?” tanya Anjani, menatap Bagas.
“Dia baru akan menampakkan diri di setiap pantulan cermin,” Bagas menjelaskan.
“Kalau begitu, itukah yang ada di pantulan meja ini?” Anjani memberi isyarat agar Bagas berdua melihatnya.
Bagas terlonjak kaget. Dia lupa jika meja di ruang keluarga itu memiliki kaca di tengahnya. Seharusnya dia menutupnya lebih dulu dengan taplak. Tetapi dia tak ingat cara perlindungannya, karena ini adalah apartemen sahabat kuliahnya. Pada saat itu pun, dia sibuk berbicara dengan Anjani. Dia segera berlari menjauhi meja, badannya kini telah menempel erat di pintu masuk.
Terlambat, makhluk yang berwujud mengerikan itu muncul dari dalam meja dan turun. Dia perlahan mendekati Bagas dan berkata,
“Mana janjimu? Kamu berkata akan menepatinya.”
Bagas ketakutan, dia segera membuka pintu masuk dan berlari ke arah lift. Dia memencet tombol lift berulangkali dengan gelisah. Tetapi percuma.
Makhluk itu sudah muncul di depan Bagas dalam sekejap. Dia bertanya lagi dengan dingin,
“Mana janjimu, Bagas?”
Lidah Bagas terasa sangat kelu. Dia sangat panik dan melirik pintu darurat. Dia berlari dan membukanya. Terkunci.