Hujan deras pagi ini menyisakan rasa malas untuk sekadar beranjak dari peraduan. Mimpi buruk semalam sungguh mengganggu. Mimpi-mimpi yang kerap hadir semenjak kejadian itu.
Prasta bergegas bangkit dari tempat tidur. Rasa panas akibat terbawa mimpi membuatnya tak nyaman. Terasa sejuk setelah membasuh muka dengan air. Ia sibak vitrase yang menutupi kaca depan kamar, di rumah susun tempatnya tinggal. Gadis yang selalu ia tunggu akhirnya membuka pintu. Tongkat pemandunya muncul lebih dulu dari balik pintu. Dengan penuh suka cita Prasta segera membuka pintu, menghampiri gadis itu.
"Anjani, mau ke mana?"
Gadis yang disapa refleks menoleh ke arah suaranya. Senyum lebar mengembang.
"Hai, Pras ... Aku mau turun, membeli sesuatu untuk sarapan."
"Masih gerimis, sini kubantu ... Tangganya licin."
Prasta menggamit tangan Anjani, menuntunnya perlahan. Tongkat pemandu ia lipat dan sematkan diketiaknya.
"Terima kasih Pras ... Kamu baik sekali," ucap Anjani tulus.
"Dengan senang hati Anjani."
Prasta tersenyum sambil memandang wajah Anjani yang ayu. Mata gadis itu tampak normal. Namun, hanya tatapan lurus yang ia bisa. Dunianya gelap. Bahkan dirinya sendiri tak tahu betapa elok wajahnya.
Setiap pergantian hari adalah waktu yang selalu ditunggu pemuda berusia 27 tahun itu. Mencari-cari kesempatan untuk bisa bersama dan membantunya. Hatinya bergemuruh, pertanyaan hatinya meronta. Akankan Anjani tetap mau menerima bantuannya jika bisa melihat. Sungguh gadis tuna netra itu telah mencuri hatinya.
Prasta menuntun Anjani perlahan, tangan gadis itu melingkar di lengan kanannya. Ia merasa sangat berharga bisa menjadi pemandu bagi gadis yang hampir setahun menghuni rusun. Namun, mereka baru saling dekat setelah Ibu Anjani meninggal dunia. Praktis, gadis malang itu hidup sebatang kara. Namun, meski ia tak mampu melihat apa pun, ia sangat cekatan mengurus diri dan melakukan banyak hal dengan kepekaan indranya yang lain. Sungguh kuasa Tuhan.
Sesekali pria dengan jaket hoodie yang selalu menutupi kepala dan sebagian wajahnya itu membalas sapaan penghuni rusun yang berpapasan dengannya.
Kedai Bubur ayam di seberang jalan menjadi tujuan mereka. Prasta mengusap rambut lurus Anjani yang basah terkena gerimis. Gadis itu tersenyum, seolah mewakili kata terima kasih pada Prasta.
"Kamu mau minum apa?" Pria berperawakan tinggi proporsional itu bertanya.
"Hmm, sepertinya Aku butuh teh hangat," ujarnya sambil memamerkan deretan gigi yang rapi.
"Siaap, tuan putri!" Ucapan Prasta membuat Anjani terkekeh.