Anjani (Love Under Fire)

NO-NAME
Chapter #3

Penantian yang Menyiksa

Hari-hari tanpa Anjani sungguh menyiksa, ada rasa nyeri setiap kali melewati pintu di mana gadis itu muncul dengan tongkat pemandunya. Tentu sebagai laki-laki Prasta punya cara sendiri agar tak terlihat cengeng. Meski saat sendiri ia merasa rapuh. Dia baru tahu ternyata cinta itu bisa benar-benar menyiksa. Duduk salah, tidur salah, dan mimpi-mimpi buruk disertai kobaran api selalu menghiasi bunga tidurnya. Akhirnya Ia lebih sering menghabiskan waktu di kantor, bahkan selalu ikut andil melatih anggota baru. Itu semua ia lakukan untuk membunuh rindunya pada Anjani.

Tapi semakin ia berusaha melupakan dengan melakukan banyak hal, nama Anjani semakin berputar-putar dan memenuhi kepalanya, hingga pernah tanpa sadar ia memekikkan kata Anjani saat komandannya bertanya di rapat koordinasi, seharusnya ia memekikkan kata siap. Hal itu membuat Prasta sangat malu terhadap atasan dan junior-juniornya.

“Eh, Jang … ke sini mau makan bubur apa numpang bengong? Kaya lagi mikir negara maneh mah.” Tanya Mang Uus demi melihat Prasta melamun di meja paling ujung kedainya. Yang ditanya bergeming, masih menatap kosong.

“Ini lebih rumit dari mikir negara Mang,” jawab Prasta asal-asalan sambil menghela napas berat.

“Eleuh … gimana mau mikir negara kalo mikirin cinta aja udah kaya tentara kalah perang? emangnya berapa lama Neng Anjani perginya? Nanti pas ketemu, kan si Eneng udah bisa liat, bisa jalan-jalan ke mana aja sama Jang Prasta kan …?”

“Nggak tau Mang … itu lah yang lagi jadi beban pikiran saya Mang, gimana kalau Anjani lihat muka saya yang sebelah, apa dia nggak malah menjauhi saya karena ngeri.”

Mang Uus menyeret kursi plastik dan duduk di hadapan Prasta.

“Jang … dengerin Mamang nih, Mamang sih yakin seratus persen Neng Anjani bakalan nerima apa adanya.”

“Mang Uus nggak ngerasain jadi saya sih … saya malu Mang, nggak pede … nggak nyangka kalau secepat ini Anjani dapat donor mata.”

“Naha atuh …!! ucap Mang Uus dengan suara keras sambil menggebrak meja, membuat Prasta terlonjak dari duduknya. Sementara laki-laki penjual bubur yang sudah sangat dekat dengan Prasta tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Prasta.

Lihat selengkapnya