"Hermoso ...." ucapku dalam bahasa Spanyol; memuji keindahan Taman Perancis bergaya Renaissance yang sempat populer pada abad ke-17.
Taman bunga yang berada di kawasan Taman Nusantara-Jawa Barat ini memiliki lekukan-lekukan geometris yang diselimuti parterre, sehingga membentuk sebuah labirin kecil yang membungkus sekumpulan bunga mawar merah yang sedang merekah. Sedangkan di tengahnya berdiri sebuah air mancur dengan sebilah beton penyangga berwarna cokelat tua, air mancur yang memuntah itu jatuh ke dasar kolam kecil yang dibatasi lekukan berwarna putih terang yang menyilang. Di samping pancuran juga berdiri dua buah pot besar yang menopang kehidupan Spathoglottis Affinis; spesies anggrek dengan bentuk bunga sundip melebar sampai ke ujung, sekujur bunga itu dilapisi corak warna kuning pekat serta garis ungu yang samar. Terdapat pula beberapa tiang silinder yang juga diselimuti parterre sehingga menghadirkan kecocokan wajah dengan keindahan Taman Istana Versailles di Perancis.
Aku lihat ada sebuah bangku panjang yang terbuat dari bilahan pinus dengan sepasangan kaki dari ukiran besi yang berwarna hijau. Bangku itu terletak tidak jauh dari pot bunga anggrek tempatku berdiri sekarang. Seolah memanggilku, tatkala itupun aku mulai melangkah perlahan, melewati parterre layaknya pagar taman ini. Disana kupinjam waktu untuk menikmati segenap keindahan yang ditawarkan, menurutku, duduk di taman ini serasa sedang berada di Eropa, persis di Eropa.
Tak lama pula, sepoi angin selatan membawa seorang pemuda menghampiriku. Lelaki berkulit sawo matang itu terlihat mengenakan kaos Polo Ralph Lauren biru navy dengan celana jeans menghitam pekat, mengkerucut mata kaki. Di tanganya melingkar sebuah jam Charles Jourdan dengan strip kulit berwarna cokelat muda. Wajah ovalnya tersenyum kepadaku alih-alih meminta tempat untuk duduk.
"Sendiri saja?" sapa sang lelaki sambil menjatuhkan tubuhnya ke samping kiriku.
Aku lekas menengok ke arahnya yang ternyata juga menengok ke arahku.
"Iya." sahutku datar.
Bagiku, bertemu orang baru adalah sebuah tantangan. Sebelumnya, aku hanya hidup sendiri, tanpa seorang teman.
"Aku Ricardo," ucapnya mengulurkan tangan. "Kamu siapa?"
Lelaki ini bernama Ricardo. Nampaknya orang yang baik. Seluk wajahnya tidak menunjukan seorang yang jahat sedikitpun.
"Aku Anjelica ...." balasku agak malu. Meski begitu, aku bersedia menyalami tangannya yang agak lebar beberapa inci dari daun tanganku.
"Suka bunga, ya?"
Untuk yang satu itu, aku memilih untuk tidak menjawabnya, melainkan memutar pandangan pada sekumpulan bunga mawar yang memerah, lalu merambat pada dua pot bunga anggrek yang menguning. Ricardo nampak mengikuti gerakanku, hal itu membuatku kikuk tak karuan. Mengapa dia begitu tertarik berkenalan denganku?
Tak lama, sepasang bola mata sipit berhasil menangkap bola mataku yang melebar, memperhatikan gemulai anggrek digelitiki angin sepoi dari selatan. Sadar akan hal itu, secepat mungkin aku meluruskan pandangan yang awalnya menyudut ke sisi kiri.
"Kenapa?" tanyanya terheran. Wajar saja, mungkin kelakuanku sedikit aneh, tapi aku benar-benar tidak pernah sedekat ini dengan orang baru.
Dengan segera aku membuang muka, gerakanku yang kilat rupanya membuat Ricardo terpingkal. "Hahahaha ... canggung ya ketemu orang baru?"