Semenjak Ricardo mendapatkan nomor ponselku, ia tidak pernah berhenti menghubungiku di malam hari. Siangnya, dia selalu mengajaku berkeliling kota Cianjur.
Kini aku mengenalnya, Ricardo ternyata adalah seorang pelukis, berorientasi terhadap pemandangan. Karya-karyanya selalu dipesan beberapa gallery di Kota Cianjur.
Sepintas nama Ricardo mewakili orang-orang Spanyol, ternyata tidak, dia adalah keturunan asli bangsa Indonesia. Ayahnya adalah pelukis terbaik di Jawa Barat, sementara ibunya adalah seorang musisi aliran Jazz. Ricardo memiliki dua adik dan satu kakak. Dua adiknya masih kuliah di ITB, sementara kakaknya sudah menikah dengan seorang model majalah Gadis.
Aku memang tidak pernah sedekat ini dengan manusia lain kecuali ibuku, itupun iblis ..., dia yang selalu menyiksaku karena kesalahannya sendiri. Ayahku meninggalkan ibu disaat masih mengandungku. Kata ayah: ibuku ketahuan selingkuh dengan teman kerjanya. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali.
Meskipun begitu, Ayahku tidak pernah mempermasalah aku anak siapa. Bagi ayah, aku adalah anak gadisnya. Meskipun aku tahu, bahwa kemungkinan aku adalah anak dari selingkuhan ibu itu cukup besar.
Malam ini aku melihat Ayah dibalik tangga yang mengjorong ke dapur, tangannya memasukan beberapa kerang ke dalam panci yang berisi air panas. Sementara di samping kompor yang memanaskan air itu, ada dua piring nasi dan beberapa potong ebi.
Segerombol uap mengepul disaat Ayah membuka tutup pancinya. Ku lihat beberapa kali Ayah melakukan itu, namun kerangnya belum juga terbuka. Ia pun langsung mempipihkan sebatang serai dan seruas jahe, kemudian mengiris bawang bombai dan kacang hijau. Tak lama ayah membuka tutup panci itu lagi, lalu meniriskan kerang-kerang yang mulai terbuka.
Karena penasaran, aku tidak bisa menahan kedua kaki untuk menghampiri Ayah. Berantakan, dapurnya berantakan sekali, gudang tempatku dikurung saja, tidak seberantakan ini. Ayah menoleh kebelakang karena mendengar langkah kakiku.
"Ayah masak apa?" tanyaku setelah mendekat.
"Paella, makanan kesukaan ibumu!" ujar Ayah seperti bangga, tentu saja setelah memberikan senyum lebarnya kepadaku.
Hatiku menjerit saat itu, ibu kan sudah tidak ada. Aku yang membunuhnya, karena sudah bosan disiksa terus-terusan.