Aku sebenarnya, tidak ingin jadi aku. Aku lebih ingin menjadi orang lain saja, menjadi bebas dari anxiety disorder, menjadi anak normal tanpa venlafaxine; —obat itu justru membuatku ingin bunuh diri
"Anjelica!" tegur Ricardo, memecah lamunanku.
Aku memang suka melamun. Dengan melamun aku dapat bertemu banyak hal.
Ketika aku dikurung di gudang, lamunan yang menenamiku. Meskipun tidak nyata, tapi aku bisa menggambar duniaku sendiri: sekumpulan buah chery, rontokan bunga sakura, serpihan bunga momo, dan jatuhan bunga plum. Duniaku juga dipenuhi minion yang menggemaskan, mereka selalu membuatku tertawa setelah sakit disiksa ibu.
"Anjelica!" seru Ricardo lagi.
"I—iya" sahutku, segera melihat Ricardo yang duduk di sampingku.
Ricardo saat itu mengenakan jaket kulit tipis namun tegas, jaket itu memiki corak dua garis putih sampai ke bahu. Di balik jaketnya yang sengaja dibuka itu ia mengenakan kaos putih polos dan sebuah kalung Vnox berliontin tungsten carbide yang melingkari lehernya.
Sedang, aku mengenakan blus panjang, berbahan katun aushi yang berwarna putih kemerahan pada bagian innernya, sementara bagian outernya berbahan balotelly yang berwarna biru tua.
Saat ini kami sedang berada di rooftop salah satu lounge yang berada di Cianjur. Aku dan Ricardo duduk disebuah sofa; berwarna putih yang berbentuk seperti keranjang. —Mirip dengan sarang burung walet.
Di depanku, berdiri enam buah lampu, dan empat buah ornamen gazebo, gazebo itu di sela oleh pot tanaman berbentuk persegi.
Sementara, di sudut kanan ada sebuah kubah, kubah itu mengurung beberapa chandelier dan sebuah ukiran bunga sakura yang terbuat dari plastik; warnanya putih. Kubah yang mengkerucut keatas itu di kelilingi geometri segitiga, geometri itulah yang membingkai replika salju yang berwarna biru.
Lantainya juga indah. Di sepanjang sofa, memang keramik hitamnya masih rapat, tetapi beberapa inci ke depan, kerapatannya di pisah oleh taburan batu-batuan kecil; mirip batuan sungai.
Sedangkan, di belakangku; tepatnya di area indoor, tampak seperti restoran pada umumnya. Hanya saja, atapnya dihiasi daun-daun plastik yang rimbun, lengkap dengan dua pohon, dan beberapa lentera yang disematkan. Di sisi kiri pintu masuk, ada sebuah lukisan sayap dengan background langit yang dipenuhi sekumpulan awan. Tempat ini memang menyajikan warna putih, semuanya serba putih.
"Kenapa melamun lagi? Sudah tiga kali aku melihat kamu melamun hari ini."
Sejenak aku mengarahkan pandangan ke arah kubah untuk mencari alasan yang baru.
"Aku hanya ingat salju, kangen Eropa." ujarku berdalih.
Ricardo memandang sekilas kubah itu, di sana memang ada replika salju yang dibingkai oleh geometri segitiga.
"Di Indonesia tidak ada salju, Anjelica."