Setelah tertawa lepas, Ricardo tersadar, bahwa aku tidak menikmati loluconnya yang barusan. Wajahnya dikepung rasa bersalah hingga ia menyesal.
Aku yakin, dia kebingunan mencari cara bagaimana menghadapi aku dengan sikap yang baru.
Sebelumnya, aku tidak pernah merasa marah, emosiku hanya datar, cemas dan kelam.
Tetapi sekarang berbeda ....
Ayah pertama kali mengajarkan emosi tentang kasih sayang terhadapku, kemudian Ricardo menumpah beberapa emosi sekaligus. Emosi-emosi seperti itu tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
Ternyata cukup seru memiliki bergumpal-gumpal emosi, apalagi emosi cinta terdahap lawan jenis; emosi yang aku dapatkan sekarang, sebelum aku marah.
Ricardo masih mencari cara untuk membujukku, dan aku sedang menikmati kemarahanku. Hemmm ..., rasanya ada sensasi yang membludak dalam rongga dada, sepanjang sarafku serasa mengalami ketegangan. Aku bahkan berada di fase apapun yang dikatakan orang lain bernilai salah, tidak akan pernah aku benarkan.
"Maaf," ucap Ricardo ragu, "aku tahu, tadi berlebihan ...."
"Iya."
Ricardo tertegun, kelihatannya bimbang tentang bagaimana cara membujuk rayu seorang gadis sepertiku.
Sesungguhnya, aku merasa kasihan. Tatkala ia menunggu jawaban, aku malah ber-euforia dengan waktu.
Sebagai wanita, tentu saja saat ini ada rasa ingin diperhatikan. Tetapi, dia malah kewalahan.
Serba salah ....
Lagipula, aku tidak mungkin membiarkannya terlalu lama tenggelam dalam kecewa. Sebab, selama ini dia yang telah berusaha memperkenalkanku pada dunia yang sesungguhnya. Dunia yang bukan hanya sekedar, ruang berukuran 12 meter persegi yang dipenuhi barang-barang lapuk dan antik.
"Rik, aku bukanlah orang baik," ujarku, kali ini dengan nada yang lebih serius. "Dalam bentuk apapun aku, kamu enggak akan terima itu."
Ricardo tidak menggubrisnya sedikitpun, ia malah menyangkal.
"Aku tidak butuh orang baik."
"Aku benar-benar bukan orang baik!" tegasku lagi, aku ingin Ricardo percaya bahwa mencintaiku adalah jalan yang salah.