Hujan yang mengguyur malam ini membuatku busung lapar, kiranya, suara butiran air yang jatuh itu telah bersimfoni dengan pekikan lambungku.
Ayahku malam ini sedang pergi keluar kota, karena ada suatu urusan dengan pekerjaannya. Tetapi sebagai ayah yang baik, dia sudah menyediakan makanan instan untukku. Di kulkas ada beberapa bungkus mie instan, kaleng sarden, buah-buahan, sayur mayur, dan beberapa potong ikan tuna.
Tetapi rasanya malas sekali harus menyalakan kompor, jadi aku memutuskan untuk pergi ke minimarket terdekat.
Setelah tanganku meraih payung hitam yang diselipkan di balik pintu, kakiku mulai beranjak dari rumah.
Minimarket itu tidak jauh, aku hanya cukup berjalan kaki sejauh 20 meter saja; kira-kira hanya 2 menitan.
Setelah sampai di sana, aku langsung mengambil empat buah roti lapis keju yang tersusun rapi di rak khusus roti. Kemudian tanganku meraih empat kaleng susu cokelat yang berjejer di frezeer berwarna merah di belakangku. Lalu mengantri di barisan para pembeli lainnya.
Menjengkelkan, barang yang mereka beli banyak sekali. Inikan minimarket, bukan pasar swalayan. Aku benar-benar lapar, mengapa harus terjebak macet dalam minimarket segala.
Tetapi mau di kata apapun juga, ini adalah risikoku sendiri. Sembari menunggu giliran, beberapa kali aku menghentakkan kaki sambil memandangi sekelilingku.
Mataku bergerak ke segala arah, hingga kulihat di balik pintu kaca minimarket, ada seseorang mengenakan pakaian serba hitam, dia tampak bersender di samping sebuah sedan.
Awalnya aku pikir hanya firasatku saja kalau dia memperhatikan gerak-geriku selama di sini. Tetapi setelah aku keluar dari minimarket, Pria itu membuntutiku ....
Aku berjalan cepat sekitar lima meter, lalu menghentikan langkah.
Kupikir orang itu akan berjalan melewatiku. Ternyata ....
Dia ikut menghentikan langkahnya.
Pelan-pelan, aku menengok ke belakang, dan benar, pria itu terdiam, sambil menunduk.
Wajahnya ternyata bertopeng!
Aku tidak memperhatikan betul topengnya, yang aku lakukan saat itu hanyalah berlari. Berlari sekencangnya hingga menemui dua arah persimpangan.
Tidak mungkin aku lari ke rumah, aku harus lari ke sebuah bangunan kosong; bangunan yang awalnya akan dijadikan rumah sakit, tetapi entah kenapa setelah bangun itu jadi, malah tidak fungsikan sama sekali.
Lelaki itu terus mengejarku, dan aku mempercepat langkah sebisa mungkin. Di dalam kegelapan, aku melewati lika-liku bangunan ini. Rumitnya bukan main!
Syukurlah, akhirnya aku menemukan sebuah ruangan yang cukup menyudut. Untungnya ruangan ini memiliki sebuah pintu yang dapat dikunci dengan balok yang tergeletak begitu saja, jadi aku merasa aman di dalamnya. Selama dia masih mencoba mencariku, aku menelepon Ricardo.
Percakapan di telepon:
"Rik! Tolong aku Rik ...!"
"Kenapa, kamu kenapa?"
"Pokoknya buka waze kamu, aku share lokasi aku."
"Kamu kenapa?!"
Gubrak!!!
Suara lelaki itu membuka paksa pintu yang kukunci dengan balok kayu.
Tidak aku sangka, dia akan menemukan aku di ruangan paling menyudut ini. Aku segera mematikan ponsel dan cahaya apapun itu. Sedangkan napasku mulai terengah-engah, namun tetap aku tenangkan sebisa mungkin.
Aku mulai mencari tempat untuk bersembunyi, untungnya ada sebuah meja yang cukup besar di dekat sudut jendela yang tidak berkaca.
Aku langsung masuk menunduk ke bawahnya, tak lama lelaki itu berhasil mendobrak pintu dan mematahkan balok kayunya.