Tidur merupakan cara terbaik bagiku untuk berkomunikasi dengan ketenangan. Awalnya kukira alam mimpi hanya wahana bermain saja. Tetapi, nyatanya alam mimpi hadir melebihi itu; untuk merias kegelapan dalam hidupku. Gadis yang menderita anxiety disorder sepertiku lebih memilih untuk hidup di alam khayal yang tidak terbatas oleh dimensi. Dimana aku bisa meracik setiap hikayat sesuai seleraku.
Awalnya aku bosan dengan kehidupan. Disiksa setiap hari selama dua puluh tahun, membuatku tumbuh penuh bekas luka. Luka melegam di sepanjang tubuhku yang tersembunyi selalu membuatku untuk berpikir tentang cara menyudahi kehidupanku yang kelam.
Namun, keberanianku terlalu kerdil untuk mewujudkan keinginan bernyali rabung. Sehingga satu-satunya cara adalah dengan membunuhnya. Dengan cara itu aku tetap bisa hidup tanpa harus menelan nyawa sendiri.
Setelah itu aku tersadar, bahwa dunia bukan hanya sekotak ruangan pengap dengan barang-barang kusam yang berbau pesing. Dunia justru melebihi batas perkiraanku.
Dunia ini juga bukan hanya dipenuhi sekumpulan buah chery, rontokan bunga sakura, serpihan bunga momo, jatuhan bunga plum. Dan juga, bukan hanya di isi sekawanan minion yang menggemaskan.
Dunia ini lebih indah dari khayalanku yang tidak seberapa. Walau itu tergantung, bagaimana caraku memainkan rima dalam kehidupan.
Ricardo selama ini telah berhasil medetermasi kehidupanku. Dia benar, kita hanya perlu sedikit bersyukur untuk mengetahui arti sebuah kesempurnaan.
Namun, kali ini sebuah fragment dari masa lalu menerorku tadi malam. Pada akhirnya, aku harus berjuang menyembunyikan potongan puzzle yang akan mengungkap siapa aku sebenarnya.
Pukul 15.00; angka yang ditunjuk oleh sepasang jarum yang memutar. Aku berjalan agak lemas menuju sebuah pintu kamar mandi. Di dalam sana aku duduk selonjor, bersantai berkolam air hangat dan ditemani seekor bebek karet, tak lama buih sabun menutupi bugil tubuhku.
Setelah bangkit dari bathub, aku langsung terjun ke bawah, lalu mencari segelas air untuk melarutkan venlafaxine yang selalu menyelip di tas kecilku, yang tersembunyi dibalik baju.
Tas kecil itu adalah barang yang paling wajib aku bawa. Di dalamnya terdapat sebilah belati, beberapa kotak venlafaxine, dan sebuah phonebook.
Usai meminum obat sialan itu, aku menghampiri Ricardo yang tengah melukis di living room. Tangannya menggoreskan kuas ke kanvas yang setengah jadi. Kulihat lukisan itu seperti sebuah menara tua yang berdiri ditengah gedung-gedung modern.
"Itu lukisan apa?" tanyaku setelah menghampirinya.
Ricardo menoleh ke arahku, kemudian dia meletakkan alat lukisnya sesaat. "Ini adalah perlambangan rasa gelisah." ujarnya meraih kembali kanvas yang terbujur itu. "Coba bayangkan perasaan menara itu, berdiri di antara gedung-gedung modern, pasti akan roboh atau dirobohkan."
"Terus kenapa harus dirobohkan?" aku menelisik lebih dalam lukisan itu.
"Orang Indonesia buta akan pentingnya sejarah, Anjelica. Yang mereka pentingkan hanyalah bagaimana memenuhi hidup di masa depan. Jadi, meskipun bernilai sejarah, runtuh ya tetap runtuh."
"Oh, ya? Tapi bukannya sejarah dan masa depan, adalah mangsa yang berikatan?"
"Ya begitu ...." ujarnya setelah tertawa kecil. "Makanya aku membuat lukisan ini."
"Bagus ...." kataku memuji.
"Terima kasih." balasnya seraya bangkit dari bangku tidak bertulang belakang itu, tak lama tangannya membimbingku duduk di sofa.
"Bagaimana perasaan kamu?"
"I'm fine, don't worry about me."
"Okay." balasnya memberikan senyum hangat. "Kamu mesti lapar, kan?"
"Sebenarnya iya, cuma kamu ngajak ngobrol aku, sih."
Ricardo menggampai tanganku, lalu mencengkramnya kuat-kuat.
"Aku enggak akan lepas dari kamu, kok!" celetukku, sambil memperhatikan gerak tangannya.
"Aku takut kamu hilang."
"Percayalah, aku takkan hilang." ujarku meyakinkannya. "Tapi, lapar sekarang, pasti akan hilang ...."
"Hahaha, kamu lucu." komentarnya tertawa lepas.
"Oh, iya. kita mau makan di mana?"
Ricardo nampak berpikir sejenak.
"Bagaimana kalau di kafe dekat sini?"
"Di mana pun itu enggak masalah, di rumah juga enggak papa, aku bisa kok, masak buat kamu "
"Kafe saja." usulnya. "Kamukan harusnya istirahat."
Aku mengangguk pelan, mengikuti usulan lelaki yang telah menyelamatkan nyawaku malam tadi.
Meskipun hanya aku yang tahu, dia adalah pahlawanku. Memang, dia tidak memiliki sayap atau jaring. Tapi dia memiliki kenyataan.