Anjelica

Ziendy Zizaziany
Chapter #8

Sikap Dingin Rachel

"Rachel?!" setengah berteriak, Ibunda Ricardo panik.

"Kenapa Rachel, Tante?!" tanyaku ikut panik.

Rachel memang tidak berkumpul bersama kami, Ibundanya merasa khawatir, terlebih Irjen Suhadi mengatakan soal ancaman yang akan membentuk mata rantai pembunuhan, sampai targetnya tidak bersisa.

"Aku jemput!" seru Ricardo, berharap dengan itu ibundanya akan tenang.

"NO! Jangan!!!" cegat ibunda Ricardo. "Kita tidak bisa bertindak gegabah."

"Bunda, semua ini baru kesimpulan awal." ujar Ricardo mencoba tetap tenang. "Bunda enggak usah khawatir."

"ENGGAK!!!" sergah Ibunda Rocardo. "Bagaimanapun semua ini telah terjadi, pokoknya, semua harus A—MAN!!"

"Maaf, ya ...." ucapku tidak enak hati. "Semuanya gara-gara aku."

Ibunda Ricardo merangkulku dengan penuh kasih sayang. "Enggak Sayang, ini ... bukan gara-gara kamu. Tenang, ya!"

"Kak Rachel gimana, Bun?" tanya Richel khawatir

"Saya bisa kawal Ricardo!" ungkap Irjen Suhadi. "Kita cari sama-sama."

"Tapi, apa tidak merepotkan, Pak?"

"Tidak, ini tugas kami sebagai Kepolisian."

"Aku ikut!!!" seruku membuat seluruh mata terpojok kepadaku.

"Enggak boleh!" tukas Ibunda Ricardo.

"Iya, benar. Dik Anjelica adalah target utama. Bisa jadi mereka menyiapkan kejutan yang akan membuat kita kewalahan." ujar Irjen Suhadi.

"Ayo, Pak!" ajak Ricardo sambil berjalan keluar.

"Kak!" panggil Richel dengan getir, langkah Ricardo tercegat. "Hati-hati ..."

"Iya Richel, kamu jaga Bunda, ya!" sahut Ricardo melanjutkan langkahnya.

Ibu Ricardo mengepal kedua tangan, ia memejam mata. Berharap, Tuhan melihatnya yang tengah berdoa, dengan penuh harap akan terkabul.

Dalam situasi seperti ini, seorang Richel yang periang pun, nampak murung. Tidak aku sangka semuanya akan memburuk. Seandainya saja putaran waktu dapat berhenti. Tentu, aku akan memilih untuk membisukan detaknya. Sehingga aliran peristiwa tidak akan selang-seling antara mujur dan petaka.

"Semua ini salahku ...." gumamku lagi.

"Jangan berkata seperti itu, Kak!" ujar Richel, rupanya mendengar. "Menyalahkan diri sendiri itu tidak baik, sama halnya, tidak mensyukuri pemberian Tuhan. Nabi-nabi saja yang mulia juga diberi cobaan, Dewa-dewa perkasa juga, bahkan Tuhan Yesus yang berkuasa sekalipun."

Mendengar wejangan seorang Richel, aku teringat akan ucapan Ricardo yang menguatkanku. Sepertinya, kehidupan keluarga mereka penuh dengan falsafah yang merajut fana menjadi bentuk nyata, sehingga terpanut dalam hati mereka: imaji kehidupan yang sebenarnya.

Kemurungan Richel tidak membuat hatinya lantas mati dalam membedakan segala bentuk abstrak. Justru, ia mampu menalarkan cobaan sebagai bentuk pemberian, bahkan tanpa harus mengguruiku yang seorang kosong dalam pandangan hidup.

Rupanya Ibunda Ricardo selesai berdoa. Aku berharap. Bagaimanapun celoteh hatinya, semoga dapat segera sampai menuju telinga Tuhan. Sebagaimana doa yang menukar rambat suara sangkan melebihi kecepatan cahaya. 

"Tan—te ... ." ucapku bersuara lirih dengan rasa yang bersalah.

"Enggak, apa-apa." balas Ibunda Ricardo dengan lirih.

"Seandainya aku tidak menelepon Ricardo Tante. Aku—"

"Sudah ...." potong Ibu Ricardo. "Jadikan ini pengalaman, Sayang."

"Tapi, Tante ... Aku ..."

"Tidak ada tapi, Sayang. Waktu selalu membawa peristiwa. Dan peristiwalah yang mengikat takdir. Selamat atau tidak, Rachel pasti berada pada ordinat yang sebenarnya."

"Tante, jangan berkata seperti itu ...."

Ibunda Ricardo tersenyum hangat. "Tante hanya bersiap, jika hasil usaha kita tidak mendapatkan skor yang sempurna."

"Kak!" timpal Richel tiba-tiba. "Kita harus yakin, kalau Kak Rachel bakal baik-baik saja."

"Iya, Rachel pasti baik-baik saja." balas Ibudanya 

Aku membalas dengan senyuman lagi, rasanya jauh dari kemungkinan. Ini benar-benar berat aku terima. Entah, apakah praduga Irjen Suhadi itu benar atau tidaknya. Tetapi, instingku menjorok, bahwa praduga itu adalah benar adanya.

Seorang polisi pasti memiliki alasan dalam menyimpulkan sesuatu, terlebih, mereka sudah melalang buana dalam dunia perkara.

Lihat selengkapnya