Pagi hari, adalah masa bagi keluarga Ricardo untuk menikmati sarapan di meja bundar yang terbuat marmer yang dilapisi kaca.
Aku duduk di samping Richel dan menghadap ke Ricardo. Sedang Rachel berada di samping kiri Ricardo yang menghadap Ibundanya.
Semuanya nampak normal, terkecuali, dengan Rachel yang sedari tadi enggan membuka mulutnya untuk berbicara. Seekali ia membuka mulut, itu hanya untuk memasukan roti tawarnya yang berlapis selai anggur.
"Kak Rachel cemberut terus." komentar Richel sambil mengunyah.
"Iya, enggak tahu, nih!" balas Ricardo yang memotong daging.
Ibunya tersenyum, sementara aku berduka.
"Hari ini kampus Ganesha bukannya libur?" tanya Ricardo.
"Iya, kan." tukas Richel. "Ada acara, Kak."
Richel menoleh ke arahku yang di sampingnya.
"Ikut ya, Kak ... Richel mohon ..." imbuh Richel memelas.
"Iya, aku ikut, kok!"
"Rachel enggak ikut?" tanya Ibundanya.
"Rachel penyelenggara, Bun." jawab Rachel seadanya.
"Oooh."
"Kok Richel enggak tahu, Kak?" ucap Richel seperti terkejut.
"Enggak perlu di ceritakan kali, Dek."
"Tapi, kan. Kalau tahu Kak Rachel penyelenggara, Richel enggak bayar tiket dong, Kak!"
"Tetap bayarlah Richel, memang kampus punya Rachel apa?!" serobot Ricardo berkomentar.
"Ah ...! Kakak!"
"Memang kamu bayar berapa sih, Richel?"
"200 ribu." ucap Rachel cemberut.
"Ya Allah ...! 200 ribu saja pake mau gratisan, Chel ... Chel."
"Sudah!" sergah Ibunda Ricardo. "Masalah pembayaran saja pake di ributkan."
"Aku tetap ngampus. Mau gladhi bersih." ucap Rachel tiba-tiba.
"Kak Richard temenin ya, Dek?"
"Apa sih, Kak! Kayak bocah saja."
"Rachel!" tegur Ibundanya. "Dalam kondisi kondisi kayak gini, enggak boleh sendiri-sendiri. Biar Kakakmu temanin."
"Kenapa sih Bunda, ah!"
"Ada penjahat yang ngintai kita, Rachel."
"Gimana enggak ngintai kita, sasarannya ada dirumah, kok!" ucap Rachel memukul meja dengan telapak tangannya, setelah itu ia melengos naik.
Ibundanya memandangku dengan rasa kasihan. Mungkin tidak enak hati dengan perlakuan anaknya terhadapku.
"Kamu sabar, ya?!" ucap Ibunda menjulurkan tangan, lalu mengelus pipiku.
Aku pun mengangguk sambil memaksa tersenyum.
Tak lama Rachel turun lagi dengan berpakaian rapi.
"RACHEL!!!" teriak Ricardo segera mengejar.
Rachel tidak peduli, ia meneruskan langkahnya hingga menggapai pegangan pintu yang melengkung seperti kobra.
Ricardo bersikeras menghentikan langkah Rachel yang terus menerobos keluar.
"Kalau Kakak enggak minggir dari pintu, aku tendang, nih!"
"Enggak, pokoknya Kakak yang temenin!"
"Aku ikut!" sergahku menghampiri mereka berdua.
Ricardo menyelingkan wajahnya, ia menatap Ibundanya seolah meminta persetujuan.
Ibu Ricardo mengangguk, sementara mereka terpaku di meja makan.
"Ah!" ketus Rachel.
Pada akhirnya Rachel menerima dengan terpaksa. Ricardo segera membuka pintu, kami bertiga melangkah menuruni anak tangga, melewati ukiran Aphrodite yang duduk bersila di atas kerang dan Ares yang mengenakan zirah perang.
"Pak, tolong ambilkan kunci mobil saya." ucap Ricardo ke sopir pribadi Rachel.
"Bukannya Non ...."
"Saya yang antar!"