Masih dalam suasana yang sama. Ricardo perlahan menyadari. Menangis bukanlah jalan keluar satu-satunya. ia menyapu area sekitar. Sepi, tidak ada sesiapapun terkecuali kami. Rachel tidak mungkin sampai raib dari bukit ini. Dia pasti ditemukan, lagi pula tidak mungkin bagi wanita berjubah hitam itu turun tanpa melewati kami.
"Bagaimana kalau telepon polisi?" usulku baru terpikirkan. Seharusnya sedari tadi, namun aku diluput panik.
"Iya!" serunya, seolah mendapatkan pencerahan. Ricardo mengulurkan ponsel lalu menggulir jari dengan tidak sabaran. Beberapa kali salah menekan nama, ia menggerutu.
"Tenang!" kataku mengelus bahunya yang menegang. Tangannya kurasakan begitu bergetar. Ponsel ditangannya tidak ubah seperti digertakan gempa kenestapaan.
Ricardo menatapku dahulu, sebelum akhirnya menyetrika daun ditelinga dengan ponselnya.
Aku tidak tahu, apakah itu 911 atau pemadam kebakaran. Yang pasti, dia nampak lugas bercakap, mengutarakan kegelisahannya di bukit ini.
"Rachel hilang, tolong bantu saya." ujarnya di telepon.
Aku mengepal tangan, kuharap bantuan itu segera datang. Sementara waktu terus berlalu, matahari pun kian meredup.
"Semoga tidak terlalu sore." harapku, setelah Ricardo menutup telepon.
Ricardo menatap ke arah langit, biru abu. Hanya itu yang terpampang. Sedang, haluan surya kini telah beranjak menuju ufuk barat. Selepasnya, kami baru menyadari bahwa perlahan cahaya semakin memudar.
"Mengapa bantuan tidak kunjung datang?" tanyaku, semakin cemas dengan waktu yang berlalu.
"Sabar, mungkin saja mereka di perjalanan." jawabnya tenang. Namun, celah matanya berlainan. Aku tahu dia nampak tidak tenang. Bagaimanapun, Ricardo tidak mampu mengelabui perasaan.
Aku menghela napas dengan segenap ketakutan yang menyelimuti, batu-batuan megalit di hadapanku terasa menyuarakan nadir yang amat getir. Gesekan udara menyebabkan lentingan yang menyeramkan.
Begitu pun surya semakin temaram, sinar meredup dan bantuan tidak kunjung datang. Lalu apa yang harus kami perbuat? Sementara kami menunggu dengan rasa gelisah dan harap cemas dalam menanti.
Ricardo mengobrak-abrik rambutnya, rambut ikal itu nampak kemerusut, semakin bergelombang. Tidak ubahnya seperti perasaan kami saat ini.
"Rik, kenapa belum juga datang?"
Ricardo merapatkan bibirnya. Ia menjatuhkan tatapan ke arah tanah yang terselimuti rumput jepang.
"Rik, apa tidak sebaiknya kita pulang? Hari sudah semakin sore."
Ricardo menatap surya yang melambai.
"Aku enggak mau pulang sendiri, aku pulang sama Rachel."
Aku tahu perasaannya saat ini. Dan aku mengerti betapa berharganya Rachel. Tetapi, jika kita terlalu lama di sini. Bukan tidak mungkin, kita bisa menjadi korban mata rantai selanjutnya.
Saat surya benar-benar hilang. Beberapa orang berjalan menghampiri kami dengan berseragam polisi.
Irjen Suhadi memimpin regu kecil itu. Dari seragamnya yang berwarna hitam, aku yakin mereka dari pasukan khusus. Entah, apa itu. Yang pasti berbeda dengan pakaian polisi pada umumnya yang berwarna kecokelatan.
"Maaf, kami terlalu lama." ujar Irjen Suhadi menyodorkan dua buah senter taktis kepada kami.
"Tidak apa-apa, Pak," Ricardo nampak tenang perlahan, ia meraih senter taktis yang disodorkan Irjen Suhadi. "Hanya saja saya tidak tahu bagaimana nasib Rachel sekarang."
"Sudah menyisir lokasi ini?"
"Sudah, tetapi Rachel tetap tidak ditemukan."
Irjen Suhardi menyorot ke arah jalan menuju teras lima.
"Kalau begitu." ucap Irjen Suhadi. —Ia mehadap ke anggota regunya. "Kita sisir teras kelima, target kita pasti berada di center teras kelima."
"Kami memang menyisir pinggiran area teras kelima, tetapi mengapa harus di centernya, Pak?"
"Area center memang terbuka, tetapi itu kelemahannya, Nak Ricard pasti tidak akan berpikir target ada di sana."
"Semua sudah diisi peluru?" tanya Irjen Suhadi kepada regunya. Seketika itu, anggota regu memeriksa senapan M16 dipundak mereka.
"Siap! Sudah Komandan." ucap anggota secara serentak.
Kami mulai memapah kaki, menanjak di antara beberapa anak tangga di punden ini. Tentu saja agak mencekam bagiku. Selain ini adalah tempat pemujaan roh nenek moyang Ricardo. Sinar rembulan pun nampak menyeramkan. Sesekali lolongan serigala mengaum dari arah Gunung Gede.
"Stop!" desus Irjen Suhadi.
Kami menghentikan langkah. Di depan terlihat cahaya api yang menyala. Aku sudah menerka, itu adalah persembunyian gadis berjubah hitam.
"Kita kepung mereka, sergap siapa pun yang keluar." sambung Irjen Suhadi.