"........."
Mataku membalalak ke arah langit-langit rumah sakit ini.
Sungguh, aku melihat Rachel meninggal tadi pagi. Ya, untung saja. Untung saja itu hanyalah mimpi.
Tetapi aku harus lebih memastikan, kutengok kiriku, Rachel masih tidak sadarkan, dan Ricardo ketiduran.
Kasihan lelaki itu, ia tidak tega membangunkanku. Padahal, aku sudah siap untuk berjaga semalam.
Aku memapahkan kaki ke arah Rachel yang terbaring, serta disampingnya Ricardo yang tertidur. Wajahnya sedikit berkeringat, itu pertanda ia masih hidup. Untung saja ... aku bisa menghirup napas lega sekarang. Tanganku meraih tisu di atas meja, lalu mengeringkan pelipis Rachel yang berembun itu.
"AAAAA!" Aku sedikit berteriak, sebuah tangan meraihku.
"Mau kemana?" ternyata Rachel, suaranya kini parau.
Aku berniat hendak membuang tisu yang sudah aku gunakan tadi. Tetapi, aku tidak menyangka Rachel sudah tersadar.
"A—aku ... mau ini." aku hanya mampu menunjukan tisu yang telah basah di tanganku.
Rachel masih terlihat lesu, tatapan matanya teramat sayu. Berbeda ketika dia sedang kalap sewaktu kejadian di kampus.
Setelah mengangguk samar yang disertai senyuman kecil, Rachel melepasku pergi ke arah tong sampah yang terletak di dekat pintu.
"Bagaimana ... kabarmu?" tanyaku begitu canggung.
Dengan tangannya yang lemas itu, ia menunjukan selang infus ditangannya. Ya, aku mengerti, keadaanmu memang sedang tidak baik-baik saja.
"Aku dijebak oleh seorang gadis ...." tiba-tiba ia bercerita. Aku meraih tangannya, semoga gadis ini kuat. "Dia mengaku ...." Rachel terbatuk.
Uhukkk ...!
"Siapa?" tanyaku dengan kilat. Aku benar-benar penasaran siapa kedua orang yang meneror kami itu.
Rachel kembali menatapku, tatapan yang seolah mencoba menahan sebuah rahasia untuk keluar dari persembunyiannya.
"Dia ...."
"Dia ... siapa?"
Rachel tiba-tiba ragu menceritakannya. Siapa mereka sebenarnya?
"Gadis itu mengaku ...."
Rachel katakanlah, aku benar-benar ingin tahu, siapa mereka sebenarnya.
"Tolong, katakanlah!"
Aku memohon kepada Rachel. Genggaman tanganku yang kuat ini mencitrakan harapan besarku itu.
"Maaf, aku tidak bisa." Rachel menjatuhkan tatapannya.
Aku benar-benar tidak tahu harus bertanya apa lagi. Tidak sepatutnya aku memaksa Rachel dengan kondisinya yang masih lemas.
Sebagai kesimpulan awal, mungkin saja kedua orang misterius itu adalah orang terdekat ibuku. Sebab, tidak mungkin mereka datang dengan rencana balas dendam jika tidak ada sangkut pautnya dengan kematian ibu.
Rachel sudah tahu siapa mereka berdua, kini tinggal aku yang harus mencari tahu sendiri. Tetapi, bagaimana? Bagaimana jika lelaki misterius itu adalah benar ayahku. Sebenarnya jauh sekali aku meyakini itu, namun tetap saja dunia ini dipenuhi kemungkinan-kemungkinan besar.
Sekarang, apakah Rachel sudah mengetahui siapa aku sebenarnya? Aku benar-benar merasa kedua orang itu pasti bercerita mengenai siapa aku.
Ricardo mulai membuka mata, ia tersenyum lebar ketika melihat Rachel sudah siuman.
"Gimana petulangannya, Dek?"
Rachel menimpuk wajah Ricardo dengan tangannya, tangan lemas yang terangkat lalu jatuh sekaligus itu sepertinya sakit sekali.
Ricardo merupakan seorang lelaki hebat, bagiku ia adalah malaikat pelindung. Bukan hanya dalam situasi segenting kemarin, tetapi dalam kehidupan normal seperti biasa. Dia telah banyak mengajariku cara untuk menghapus segala kecemasan dalam hidup. Kecemasan hanyalah ketidaksanggupan kita untuk menerima kesempurnaan, begitu katanya.
"Orang tua kalian tidak kemari?"
Ricardo seperti tersadar oleh pertanyaanku.
"Kok aku bisa lupa, ya?!"
Benar saja, ia belum menghubungi orang tuanya. Padahal, aku meyakini mereka akan sangat khawatir saat ini.
Ricardo bangkit, ia berjalan mengarah ke toilet.
"Rachel, tolong ceritakan kepadaku siapa gadis itu?" tanyaku berulang kali, setelah Ricardo tidak bersama kami.
"Dia adalah saudara perempuanmu." ucap Rachel dengan lirih.
Aku terkejut dengan pengakuannya.
Selama ini aku hanya hidup sendiri, tidak ada orang lain. Bagaimana aku memiliki saudara perempuan?
"Tidak! Aku tidak percaya."
"Pada awalnya aku juga tidak mempercayai hal itu. Tetapi, ada sebuah bukti yang aku sendiri tidak bisa mengelaknya."
Aku menitikan air mata. Entah karena apa, mengetahui semua ini membuatku sesak.
"Bagaimana kamu bisa bertemu dengan dia? Sementara aku, tidak pernah bertemu sekalipun dalam hidupku."
Rachel mengelus tanganku, ia memberikan senyum yang begitu menghangatkan. Jauh berbeda dari sikap dinginnya selama ini.
"Gadis itu, aku temui di taman kampus. Dia adalah sosok yang baik. Dia menyebutkan namamu dan mengingatkanku untuk berhati-hati. Dia sempat memberiku hadiah, sebuah tongkat baseball. Tentu saja aku senang menerimanya. Setelah kami berpisah, ia ingin menemuiku di Gunung Padang, dan ternyata ...." Rachel tiba-tiba dirajam sendu. Mungkin ia merasa ditipu oleh gadis itu.
Aku menenangkan Rachel, tubuhnya masih teramat lemah untuk berkawan dengan kesedihan. Terlebih, aku khawatir Ricardo mendapati Rachel yang sedang menangis.
"Sudah, lain kali aku ingin mendengar itu setelah kondisimu membaik." ucapku seraya menyusupkan kepala ke pundaknya.
"Rachel kenapa?" tanya Ricardo, ia sudah kembali dari toilet.
Aku segera terbangkit dan menengok ke arahnya yang berdiri di sampingku. Lelaki itu sudah membasuh muka, rambutnya masih sedikit basah, sesekali air membutir dari jangat kepalanya.