Dua Minggu kemudian ....
Hari demi hari kondisi Rachel berangsur pulih. Kini ia dapat menjalani kegiatannya seperti biasa.
Seminggu yang lalu Ayah sudah pulang, hatiku serasa diberikan ketenangan. Sebab, keyakinanku terbukti benar, ayahku bukanlah seorang penjahat.
Namun, dibalik semua keyakinan itu, aku merasa terpukul. Sebab, Ayah menceritakan bahwa gadis misterius itu merupakan adik kandungku. Artinya lelaki misterius itu adalah ayah kandungku yang sebenarnya.
Ayah menceritakan hal itu selepas memenuhi panggilan polisi untuk diwawancarai. Mungkin, aku tidak dapat menerima semua ini. Walau, sikap ayahku tidak sedikitpun berubah. Bagi Ayah, aku tetaplah gadis kesayangannya.
Tiga hari setelah Ayah diwawancarai, aku mendapati kabar. Bahwa ayah dan adik kandungku, pelaku yang menerorku beserta keluarga Ricardo telah dipulangkan ke negara asalnya, Spanyol. Hal itu terjadi karena adanya kesepakatan diplomasi dari kedua negara untuk memproses kedua pelaku sesuai hukum di negara Spanyol.
Sejujurnya, kepulangan mereka ke Spanyol malah memperkeruh keadaan, hatiku kemalut lagi. Sebab, mereka bisa menjadi kunci dari kasus yang sebenarnya, yaitu pembunuhan ibu.
"SAYANG, ADA RICARDO!" teriak Ayah dari bawah.
Aku berada di kamarku. Entah, akhir-akhir ini aku lebih suka mengurung diri di kamar, aku selalu duduk menghadap cermin dan memperhatikan sekujur tubuhku.
Seharusnya aku tidak menjadi pembunuh.
"Nak!" Ayah mengetuk pintu kamar. Tidak kusahut seruannya, hingga Ayah sampai naik kemari.
"I—iya Ayah." aku bergegas membuka pintu.
Ayah berdiri di menghadapku, aku baru menyadari, rambut Ayah sudah mulai beruban, berwarna putih, disemir Tuhan. Ternyata lama sekali aku mengurung diri di kamar ini.
"Ada Ricardo di bawah." ucap Ayah sambil tersenyum.
"Iya, Ayah." aku membalas senyuman Ayah.
"Ayo kita temui, kasian tamu kamu, ganteng, lho!"
"Ayah bisa saja ...."
Kami mulai menuruni anak tangga. Satu persatu, perlahan-lahan, pelan tapi pasti.
"Tapi kalau dijadikan menantu, Ayah tidak keberatan, senang malahan!"
"Ayaaah ... Ricardo itu temanku."
"Nak Ricardo!" sapa Ayah dengan sok akrab saat ia menuruni anak tangga yang terakhir. "Mau minum apa, biar Om yang bikinkan."
"Hemmmm .... jangan Ayah! Biar Anjelica saja."
Ayahku mendelik tajam, matanya bagai elang yang mengintai sekawanan tikus.
"Kamu ini!"
Ayahku menyergah keras, kemudian mengarah pandang terhadap Ricardo lalu bergurau. "Meragukan ... dia hahaha, padahal jus jeruk buatan Om enaaak sekali!"
"Iya, Om saya percaya."
Ricardo seperti menahan tawa. Ayahku memang gemar mencandai Ricardo saat bertamu. Aku jadi tidak enak hati.
"Hahaha, oke! Om yang bikinkan, ya! Khusus buat tamu VIP! GRATISSS!"
Ricardo mengangguk dan tersenyum dengan keramah-tamahan Ayah, meskipun berbalut dengan gurauan.
"Ayah!" sergahku berusaha mencegah.
"Aaah!"
Ayah menepis lengan kosongnya. Ia langsung mengarah ke dapur yang berjarak dekat dengan ruang tamu.
Tidak dihiraukan, aku segera duduk di samping Ricardo.
"Ada apa?"
"Rachel mendapatkan beasiswa di Barcelona. Aku ingin mengajakmu, sekalian kita liburan disana. Bukankah kamu merindukan salju?"
Aku menundukan wajah dalam sesaat. Selama ini, aku adalah DPO di Spanyol. Sementara, hatiku tergelitik ingin menemani Ricardo berlibur.
"Apa tidak terlalu cepat?"
"Tidak, Anjelica. Universitas Barcelona telah menentukan tanggal. Jadi bagaimanapun Rachel harus memanfaatkan kesempatan ini."
Dari dapur, Ayah memapah tiga gelas jus jeruk. Ia melangkah cepat dan berhati-hati.
"Om dengar adikmu mendapatkan beasiswa ke Barcelona?" tanya Ayah sambil berjalan.
"Benar, Om. Rachel berhasil mendapatkan beasiswa S1 dan S2 di Spanyol."
Ayah tersenyum lebar.
"Alhamdulillah, kalau begitu keluarga Nak Ricardo orang-orang hebat semua, pintar-pintar!"
"Om terlalu tinggi memuji, saya jadi tidak enak." Ricardo terlihat gerogi dipuji ayahku.
"Ah! Silahkan dinimum dahulu, nanti keburu dingin."
Ricardo segera mengambil gelasnya dan meminum jus itu.
"Ayaaaah ...! Inikan jus, bukan kopi."
Breppp!!! Uhuk!! Uhuk!!!
Ricardo tersedak.
"Ah, biasa. Anjelica tidak bisa membedakan jika itu candaan."
Ayah mengambilkan tisu di meja makan. Kemudian menjulurkannya kepadaku untuk diberikan kepada lelaki korban gurauan Ayah.
"Ini, kasian Kamu jadi tersedak begitu." .
"Tidak apa-apa."
"Jadi bagaimana, soal Beasiswa itu?" Ayah kembali membahas perihal beasiswa Rachel.
"Jadi begini, saya akan mengajak Anjelica untuk berlibur ke Barcelona. Apakah Om akan mengijinkannya?"
"Barcelona adalah kota di Spanyol, Anjelica lebih menguasai Eropa. Jadi, Om mengijinkan itu."
Ricardo tiba-tiba menyalami ayahku.
"Terima kasih ... terima kasih banyak, Om!"
"Sah???" Ayahku celingukan seperti melirik saksi di acara pernikahan.
Ricardo melepaskan tangannya yang menjabat tangan ayah. Ia berdecak malu di hadapanku.
"Ayah ... sudah jangan bercanda terus! Kasihan Ricardo."
Ayah menatap Ricardo, ia membalasnya dengan senyum yang teramat canggung.
"Siapa tahu Nak Ricardo akan menjadi menantu sungguhan, bukan?"
Ricardo menunduk. Tidak seperti dihadapanku ia bebas berkata cinta. Di depan Ayah, ia gemetaran.
"Ayah, sudah. Sebaiknya ayah ... hemmm ...."
Oh tidak, aku sebenarnya ingin Ayah membiarkan kami berdua, tetapi bagaimana caranya? Mana mungkin aku mengatakannya langsung.
"Ayah ingin berjemur saja di loteng. Sambil memeriksa tanaman Ayah."
Ayahku ternyata lelaki yang peka, ia tahu maksud perkataanku. Ayah mengambil gelas jusnya. Lalu menaiki anak tangga.
Huftttt!!!
"Ayahmu energik sekali, jantungku hampir copot."
"Maafkan Ayahku jika membuatmu tidak nyaman."
Ricardo menggeleng cepat.
"Tidak! Ayahmu tidak mengangguku. Hanya saja aku yang tidak berani meladeninya."
Aku merasa lega mendengarnya.
"Lalu bagaimana tentang Barcelona?"
"Ayahmu sudah mengijinkan, kini giliran kamu, Anjelica."
"Aku mau, tapi apa tidak merepotkan?"
"Justru kamu akan banyak membantu, aku mohon ... ikutlah!"
"Baiklah kalau begitu."
Pada akhirnya aku mengikuti intuisiku. Aku yakin, aku akan aman jika tidak terlalu terbuka di hadapan publik. Lagi pula, polisi di sana mana mungkin dapat menemukanku dengan segala kesibukan kota yang tidak pernah lenggang sedikitpun.
"Kalau begitu, kita akan berangkat hari Senin. Aku akan menjemputmu."
Hari Senin, dan sekarang adalah hari Sabtu, berarti hanya dua hari lagi.
"Berdekatan sekali?"
"Iya, semuanya memang serba mendesak. Rachel agak telat membuka email dari Universitas Barcelona."
Aku menghela napas, memusatkan pandanganku ke album foto, foto Ayah dan ibu. Entah, mengapa ia masih menyimpannya.
"Ya sudah, aku mengikut saja."
Ricardo seperti bergegas. Ia sudah tidak tahan duduk di dekatku.
"Ya sudah, aku harus pulang. Ada acara keluarga malam nanti."
"Baiklah, hati-hati di jalan. Jangan mengebut lagi diperjalanan."
Ricardo menebar senyum pesona.
"Iya, kamu jangan khawatirkan soal itu, ya!"
Ricardo pulang tanpa berpamit kepada Ayahku, biasanya dia akan mencari meski Ayah bersembunyi sekalipun. Tetapi kali ini, mungkin sedang terburu-buru.
Dengan sabar, aku menanti hari agar cepat berlalu. Setiap menit aku tidak sengaja menatapi seisi kalender. Entah, kakiku beranjak begitu saja.
Sebenarnya, bukan aku tidak mengkhawatirkan apa-apa. Melainkan, aku hanya mengikuti intuisi, bahwa aku akan baik-baik saja selama di sana.
Di kota yang selama ini dipercayai dibangun oleh seorang Hercules itu, aku merasa akan baik-baik saja. Semua kekhawatiran, ketakutan, dan bayangan akan tertangkap polisi di sana tertimbun. Terlebih disaat aku membanyangkan keindahan serta kemegahan Kota Barcelona sang peraih Royal Gold Medal for Architecture.
Bagiku, Spanyol adalah negara yang menyimpan kota-kota terindah di dunia. Semua orang akan terpakau, ketika menjelajah kota-kota di Spanyol.
Valencia, Málaga, Mallorca, Toledo, Santiago de Compostela, San Sebastián, Ibiza, Ronda, Bilbao, Segovia, Gran Canaria, Benidorm, Salamanca, Pamplona, Zaragoza, Cuenca. Itu hanyalah sebagian kecil dari sekian banyaknya kota yang akan memanjakan setiap mata yang memandangnya. Masih banyak kota yang dapat dijamaah seperti Madrid, Cordova, Sevilla dan Granada yang menyimpan sejuta sejarah. Semua itu akan membuat sesiapun tak jemu meskipun ribuan kali menjejakkan kaki disana.
Kali ini, aku berkesempatan ke Barcelona yang berjarak 348 km dari Valencia, kota kelahiranku.
Meskipun besar di Spanyol, selama masa hidupku hanya terkurung di gudang rumah kecil milik ibu. Aku tidak pernah menginjakan kaki kemanapun itu. Melewati ambang pintu saja aku tidak mampu.
Mungkin, Ricardo berpikir aku lebih menguasai Barcelona, nyatanya tidak. Aku tidak tahu apa-apa tentang Barcelona. Aku tidak pernah kesana dan tidak tahu seperti apa bentuk rupanya.
Namun, sebagai bangsa Spanyol, aku tahu lebih bagaimana caranya mengenali Barcelona dengan cepat. Meskipun, tidak akan menguasai seisi kota. Namun, hal itu akan membantu ketika di sana.
Hari yang berganti telah ku lewati. Dimana setiap pagi aku berharap surya cepat tenggelam lagi. Agar masa penantianku semakin cepat berlalu.
Dihari keberangkatan ini, aku memperhatikan setiap detak jarum jam yang berputar semu. Ayolah, cepatlah kemari Ricardo. Aku sudah menunggu sedari pagi.
Aku menggerutu terus menerus, Ayahku memperhatikan aku di meja makan. Sesekali aku mencuri pandang, dan Ayah nampak tersenyum melihat tingkahku yang tidak sabaran.
"Aduh, mau kapan sih." aku menjatuhkan tubuh di sofa.
Kemudian menatap jam dinding.
"Ini sudah siang, lho!"
Jarum jam menunjukan pukul 11.00 dan Ricardo belum nampak batang hidungnya.
"Assalamualaikum!" terdengar ucapan salam dari luar yang disertai ketukan pintu.
Aku melangkah dengan semangat, tak lain itu adalah suara Ricardo.
Dan benar saja, ketika aku membuka daun pintu, ia bersama Rachel telah berbusana rapi.
"Kita agak telat, nih!" ucap Ricardo panik.
"Terus?!" aku terpaksa ikut panik juga.
"Kamu buru-buru, ya! Ayahmu kemana?"
"Itu Ayahku!" tunjukku ke Ayah.
Ayah yang melihat kami bergelagat segera menghampiri. ia rupanya mendengar perbincangan diantara kami.
"Ya sudah! Lebih baik segera berangkat." ujar Ayah membawakan koperku.
"Biar saya saja, Om!" seru Ricardo tidak enak hati.
"Ah! Meragukan sekali anak muda ini." Ayah tidak ingin kalah, ia memang cekatan meskipun separuh baya. "Ayo! Nanti terlambat."
kami segera berjalan keluar. Ternyata mereka diantar taksi bandara. Taksi dari MVP yang cukup besar.
"Ini ...!" Ayahku menyerahkan koper ke sopir taksi dengan sedikit mengerang berat.
"Om, kami pamit, ya! Maaf sekali, saat ini benar-benar dikejar waktu."
Ayah memaparkan senyumnya.
"Tidak apa-apa. Jaga keselamatan kalian, ya!"
Kami bergegas masuk ke dalam taksi. Setelah sopir memasukan koper kedalam bagasi. Taksi melaju konstan menuju Bandara Husein Sastranegara.
Sesampainya di bandara, kami segera melalukan boarding. Tak lama, pesawat melakukan take-off. Ternyata kami harus transit di Bandara Singapura, lalu melanjutkan penerbangan dengan Singapore Airlines.
Pesawat Boeing A-777 yang kami tumpangi mendarat di Barcelona Internasional Airport. Kemudian melanjutkan perjalan menuju sebuah apartemen di Catalanes.
Dengan rasa lelah yang mendera, kami tak sempat menikmati keindahan Barcelona pada hari yang sama.
Namun keesokan harinya, kami bergegas mengantarkan Rachel menuju Universitas Barcelona yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari apartemen yang akan ia tinggali selama disini.
"Aku harus mengkonfirmasi kehadiran, serta ada beberapa dokumen yang harus segera kutanda tangani." ujar Rachel di dalam taksi.
Aku meliriknya, ia beberapa kali memeriksa dengan betul map yang dibawa.
"Seharusnya sudah lengkap, ya?!" harapnya sambil menutup kembali map itu.
"Kamu sudah yakin, Dek?" tanya Ricardo menatap ke arahnya.
"Harusnya aku yakin, Kak! Semoga semuanya berjalan lancar."
"Aku harap juga begitu."
Setelah sampai di kampus Universitas Barcelona, Rachel merengsek masuk kedalam kampus yang ramai dengan mahasiswa.
"Aku harus menemui rektor!" seru Rachel sambil berjalan.
"Pelan-pelan saja, ini juga masih pagi." balas Ricardo mengomentari langkah Rachel yang tergesa.
"Itu dia!" sergahku, menunjuk sebuah papan identitas ruangan.
"Iya betul!"
Kami memasuki ruangan rektor itu. Di dalamnya terdapat seorang Profesor bertubuh ceking dan beruban.
Rachel segera mengeturakan maksud dan tujuannya, ia menyerahkan dokumen yang dibawa. Rektor itu segera memasang bola matanya yang tersimpan di saku baju.
"Sorry, what is your nickname?" ucapnya setelah memeriksa dokumen Rachel.
"Most ... of people call me as ... Rachel." jawab Rachel agak gugup.