Anjelica

Ziendy Zizaziany
Chapter #13

ARRESTED

"Apa kamu sengaja mempermainkanku?"

Ricardo merubah wajahnya, ia tidak lagi bercanda. Menyesal rupanya.

"Maaf, jika kau tersinggung."

"Tak apa, aku memang aneh, hingga hanya layak ditertawakan saja."

"Tidak!" Ricardo berniat meraih tanganku, tapi kedua lengannya sibuk bersenggama dengan kanvas dan palet. "Kamu pacarku sekarang!"

Terdengar biasa saja, tetapi menggelora. Mulut lelaki ini memang tidak pernah berbohong, sekali saja aku sudah yakin kini aku menjadi pacarnya.

"Lalu apa yang dilakukan orang pacaran?"

"Hahaha!" ia tertawa lagi, apakah aku terlalu lugu dihadapannya?

"Rik! Bisakah kita lebih serius?"

"Sedari tadi aku serius, kamu memang menggemaskan."

Aku tersipu malu, pipiku memerah padam, alisku bertautan. Mengapa lelaki ini begitu pandai membuatku terbuai. Hingga bibir ini melengkung membentuk senyum.

"Langit ...."

Maksudku aku terbuai sampai menembus langit.

"Sudah sore ...." ujarnya, setelah memandang langit yang berbeda dari apa yang kusampaikan.

"Lalu, apakah kita akan pulang sekarang?"

"Tentu saja tidak, aku ingin lebih lama dengan pacarku!"

Kembang kempis, tak mau diam, tidak tumaninah! Dadaku berulah lagi.

"Rachel bagaimana?"

"Rachel baik-baik saja."

Ricardo nampak yakin, sepertinya semua teror sudah terlewatkan. Tapi, apa aku sudah sebebas itu? Bukankah pembunuh di Negeri Matador takkan lepas dari serudukan banteng yang membidik kain merah berdarah.

Aku menunduk pelan. Rasa takut mulai menyala lagi. Tidak ada saklar, itu otomatis.

"Kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja."

Ricardo mengawasi betul serangkai raut wajahku yang berubah kosong.

"Wajahmu murung ...."

Aku mengkat kepala, lalu menghunus tatapannya.

"Tidak, kok!"

"Senyum ...." lirihnya menggodaku.

Dan dan aku tergoda. Senyumku terjadi secara tiba-tiba. Semuanya serba otomatis.

"Ah! Itu cantik!"

Tersipu lagi, padahal hari ini bukanlah ulang tahunku. Tetapi mengapa se-semarak ini?

"Bisa bantu tidak?" tanya Ricardo usai pujiannya tidak kubalas.

"Ba—bantu apa?"

"Tolong kemas easelku kedalam mobil. Ringan, kok!"

Tanpa harus bertanya lagi, aku mengikuti perintahnya.

"Lipat dulu!" tegurnya, aku memang sok tahu. Dengan segera saja aku memboyong easel itu

"Kamu enggak bilang dari awal." balasku dengan nada lemah.

"Kukira kamu akan bertanya dulu."

"Iya, maaf! Aku kira seperti ini cara mengemasnya."

"Sudahlah, mari kita bergegas saja! Kurasa langit sudah cukup temaram untuk menikmati nyala laser di Montjuic."

"Kau tahu itu?"

Tidak aku sangka ia mengetahu Montjuic sebagai sejarah kelahiran Kota Barcelona. Sebenarnya, Montjuic adalah bukit dangkal yang berdiri di kaki Mediterania, tepatnya menghadap langsung ke pelabuhan. Di bukit itulah berdiri tegak beberapa benteng, termasuk Castlle De Montjuic yang tersohor sebagai benteng pertahan militer tua yang menentukan sejarah Barcelona, ​​sehingga menjadi simbol kekalahan Catalan pada saat pemberontakan yang dilakukan Kerajaan Catalonia dalam menentang otoritas Spanyol selama perang Perancis-Spanyol pada tahun 1714.

"Iya, semalam aku mencarinya di internet."

"Kamu mau ke Montjuic Castlle?" tawarku.

"Tidak! Aku mau ke Magic Fountain, dan aku sudah memilihnya!"

"Mengapa tidak ke Palau Nacional, di sana kamu bisa melihat beberapa karya seni. Bukankah kau pelukis?"

"Hehehe, konyol. Mana mungkin segelap ini bisa kesana?"

"Oh, iya!" aku hampir lupa dengan waktu. Ternyata tidak terasa bergulir hebat.

Dengan susah payah Ricardo membuka bagasi SUV yang terbujur wafat sedari pagi. Sebenarnya aku bisa membantu, tapi dia tidak memintanya. Tentu saja wanita tidak ingin bertindak duluan, aku ingin diperintah dengan nada halus dan sedikit aroma cinta.

"Letakan disitu!" tunjuknya setelah berhasil membuka pintu bagasi.

Aku meletakan easel-nya dengan berhati-hati, takut rusak.

Gebruk!!!

"Ayo berangkat!" Ricardo segera berjalan gontai menuju pintu pengemudi.

Menyala terang, lampu mobil menyorot jalanan yang sudah tak terjamah sinar. Ricardo mengemudikan mobil di tengah jalanan yang mulai ramai kembali, beberapa orang pulang dari kantor, ada juga yang sengaja keluar, mungkin pelancong semacam kami. Atau hanya sekedar pasangan muda yang mau menghabiskan malam di sudut-sudut Kota Barcelona.

Magic Fountain, bukan main! Terletak di bawah Palau Nacional yang dirancang oleh tiga arsitek hebat, salah satunya Carles Buigas; yang tak lain perancang tunggal Magic Fountain itu sendiri. Diperluas pada tahun 2004 guna menyimpan ribuan karya seni koleksi Museum Seni Nasional, tetapi sekarang ditutup, seperti kata Ricardo.

"Kayaknya kita datang terlalu awal, deh." ujarku setelah melihat air mancur terdiam, gelap-gelapan, tanpa cahaya dari 4760 lampu yang dijanjikan.

"Justru itu bagus, kita bisa duduk berleha di sini, sembari mengisi perut!"

"Benar juga!" Aku mengelus perutku, lupa diberi santapan. Terlalu asyik menemani Ricardo melukis. "Tapi aku tidak tahu restoran di dekat sini, Rik."

"Kamu beneran lapar?"

"Kamu kira?!" tukasku menekuk wajah jutek.

"Hahaha, ya sudah. kamu tunggu di sini, biar aku ke Plata Bistro, di sana menjual menu lengkap! Akan kukemas untukmu."

Kebaikan Lelaki ini tidak bisa aku tolak. Menyentuh! Aku terkesima, selalu begitu.

Ia melangkah pergi, kakinya menodong tanah silih berganti. Aku memandanginya hingga ia teramat jauh untuk tertangkap bola mataku.

"Excuse me ...."

Seorang Wanita mengalihkan pandanganku, siapa dia yang datang secara tiba-tiba menegurku.

"Yeah?"

"May i sit over here, Miss?"

Mengenakan flared skirt dengan blus lengan panjang. Wanita ini nampak formal dalam berbusana. Sepertinya, kedatangannya kemari bukan disengaja untuk menghadiri pesta air mancur. 

"Ouh, of course, Miss. you can sit wherever you want." tukasku seraya tersenyum ramah, walau sebenarnya dirundung bingung dengan kehadirannya.

"Uuummm, Are you on vacation?" tanyanya setelah menjatuhkan tubuh.

"That kind, actually i'm accompanying someone."

"Who are you accompanying? Ouh, pardon me ... i am too curious. I am Elizabeth, there are no chat buddies, so i approaching You."

Aku membalas dengan senyuman, dia lugu sepertiku.

"It's okay! I am Anjelica. Elizabeth, why are you alone in such a beautiful place?"

Dia menyeringai miring dengan bibir tersenyum halus membalut wajahnya yang teramat manis. Rambutnya pun diikat kebelekang, menarik perhatian semut saja. Eh, lelaki maksudku!

"I don't know, because i don't have friends."

Sama sepertiku dahulu, tidak memiliki teman. Dikekang sendiri dan terkurung sepi.

"Let's be friends! you will not be alone anymore!" Aku menjulurkan tangan, sambil tersenyum riang.

"Hehe, you are the best!" dia tersenyum lagi sambil menyalamiku, pipinya mengempot kedalam, matanya menyipit, manis sekali!

"You are the best too ...!"

Ia menatap wajah malam usai kubalas pujiannya.

"What are you looking for there ...?" aku mengikutinya menatap langit. Kelam, tidak ada bintang yang menyala.

"I don't know, i just want to look ... up!"

Polos melebihiku, aku jadi merasa bangga menjadi diri sendiri.

"Hehehe, you are weird!" ucapku meniru Ricardo.

Itu orangnya yang menenteng kantong plastik.

"Yeah ... the strangeness is unique."

Dalam sekali ini, aku jadi mengerti mengapa Ricardo mengecapku aneh. Unik-kan ... artinya tidak dimiliki oleh yang lain, berarti aku begitu spesial!

"Hey! Look, you have a new friend!" seru Ricardo hampir mendekati kami.

"Is that the person?" tunjuk Elizabeth ke lelaki yang menenteng kantong plastik itu.

"Exactly!"

Ricardo mengembang senyum, tapi matanya berputar diantara wajah Elizabeth yang begitu asing.

"Looks like i've seen you before ...."

HAH?! Pernah melihat? Kukira asing. Ah, mungkin dia salah orang!

"Pardon?!" Elizabeth heran mendengarnya. ia mengernyit bingung.

"Yeah, i've seen you before."

"I think you have seen the wrong person, or just like me."

"Wait!" Ricardo mengingat-ngingat. "Your hair, and your blue eyeballs, are the same as those who watched us this morning."

Aku kebingungan, mengapa Ricardo seyakin itu.

"Rik, bisa jadi hanya orang yang mirip!" komentarku terhadap ingatannya. "dia temanku, tolong jangan mengacaukannya!"

Lihat selengkapnya