Bukan apa yang tidak dibicarakan semesta ....
Bisu yang menukik adalah garba dalam hakikat kesempurnaan ....
Kau tahu, takdir setiap manusia ada di antara ilusi?
Tidak pernah diketahui pasti ....
Sebab, setiap ramalan bintang hanya anulir senja yang menjamah celah-celah asumsi.
Diktatorlah! Otoriter, Tirani!
Memang Tuhan menciptakan itu ...
~
"Aku tidak akan meninggalkan kamu, tapi katakan yang sebenarnya ... apa yang terjadi?"
HANDS UP!!!
READY TO SHOOT, SIR!!
HOLD FIRE!!!! JUST KEEPING ON THE TARGET!
AFFIRMATIVE ....
"Aku ...."
HANDS UP!!!!
KREK!! JETREEK!!!!
Aku mengangkat kedua lengan tanda menyerah. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain itu. Sebab, mereka sudah mengokang senjatanya masing-masing.
"Anjelica ...."
Begitu sayu Ricardo menatapku, kesedihan menopang raut wajahnya yang semula riang akan berpulang. Aku tidak tahu, bagaimana harus mengawali cerita yang akan membuatnya semakin lara.
Di kedua manik hitamnya, bah air mata memberi arti raut wajah kesedihan ketika sepasang borgol meringkus tanganku. Seketika itu, bola mata yang semula bulat sempurna, kini terkoyak bersama raga yang mencegah polisi berlaku kasar terhadapku.
"Don't ... shoot ... her ... please ...."
Ricardo meringis menyaksikan kepalaku ditodong senjata laras panjang. Betapa kelut pikirannya, sehingga ia berani melawan petugas yang mencegahnya masuk mendekati aku yang di kerumuni laras panjang.
"DON'T MOVE, SIR!!!"
Seorang polisi sigap menodong Ricardo yang hendak merobos barikade penghalang.
"Your Friend will be fine, calm down ...." ujar seorang Inspektur berseragam UDYCO. Dia berbicara amat santun hingga tanpa ragu mendekati Ricardo yang tengah ditodong anak buahnya. "It's okay ... are you Ricardo?"
"Yes... i am Ricardo, let her go with me, pelase ...."
"Calm down ... Let come with us to the office, and you will be safe ...."
Ricardo menggeleng tidak percaya. Ketakutan semakin jelas menyelimuti wajahnya. Namun, bujukan Inspektur berhasil membuatnya luluh dengan mau menemaniku di gelandang ke Kantor Kepolisian Valencia.
Di Kantor Kepolisian, seorang detektif dijanjikan akan menemani Ricardo yang menunggu di balik meja. Meja itu hanya beberapa meter dari jeruji yang mengurungku bersama beberapa tahanan lainnya. Namun, Ricardo tidak di ijinkan melangkah sedikitpun karena ketatnya penjagaan.
Hal itu menjadikanku tamu VIP dalam kejahatan ini. Jelas saja begitu, karena para jenderal, komisaris, awak media beserta para pejabat dengan sengaja menjengukku, Mereka menumpang muka demi disanjung popularitas.
Sementara, segerombolan polisi mengawal seorang wanita berbola mata biru. Wanita yang mengenakan flared skirt itu awalnya kukira aneh, ia datang ketika sendiri dan kesepian. Kukira dia yang paling polos diantara semuanya, ternyata aku ..., hanya aku yang terpolos di dunia.
"Ricardo ... sorry, if i'm surprised you before. This is an Anjelica crime document. I'm Detective Felicyta, you can call my previous name."
Terperanga Ricardo dibuatnya. Begitu pun dengan aku.
"I thought you were my friend!!!"
"Anjelica, sorry for ruining your vacation, the crime must still be tried."
Ricardo mulai membuka dokumen yang tergetak di atas meja, tanpa kuketahui pasti apa isinya.
"Nooooo ...." isak tangis Ricardo pecah hingga menghujam seiri ruangan. ia sangat tidak percaya dengan apa yang dibacanya.
"Can You leave the three of us alone??" pinta Detektif Felicyta kepada seorang ajudan.
Dengan segera, para polisi diperintah membatasi gerak di ruang ini. Hingga protokol memagari akses masuk ke selku.
"Anjelica killed her biological mother with a baseball bat. She is the People's Search List in this crime. Last month, two of Your Family's terrorists were returned to Spain and are key witnesses to this crime."
"I think Anjelica is ... a good person ...."
Menangislah Rik ... dan maafkan aku yang tidak mencegahmu untuk mencintaiku. Aku sudah katakan, bahwa mencintaiku adalah jalan yang salah, karena hanya akan melukai kita
"Basically, All humans are good, only crimes are bad."
"Maafkan aku, Rik!" ucapku menyesal.
Kekhawatiranku terbukti nyata, meski awalnya tertimbun dengan kebahagiaan. Manusia bertopeng teman telah menggiringku ke sel tahanan, dan kini aku dikebiri nasib sendiri.
"Ini bukan persoalan maaf, ini tentang kepercayaanku. Kukira kamu orang yang baik. Ternyata hanya semu dalam kepalsuan."
Ricardo terlanjur kecewa terhadapku. Entah, mengapa harus aku yang ditimpa bencana seperti ini. Bukankah aku hanya membela hakku yang ingin bebas menghirup dunia tanpa siksaan yang membatasi.
"Rik, kamu enggak akan meninggalkan aku, kan?"