Tinggal di pinggiran sebenarnya bukan masalah yang terlalu serius. Tapi tinggal di bantaran kali apalagi di Jakarta adalah masalah serius. Selain banjir ketika musim hujan, bau got yang selalu gagal mengalir itu bakal mengusik hidung. Ini yang dirasakan Karman ketika dia sampai ke kontrakan yang direkomendasikan oleh tuna wisma kurus dengan rambut gondrong yang ditemuinya tadi pagi. Karman merasa, dia sedang sial. Saking sialnya dia bahkan belum makan. Sebagai tukang bangunan serabutan, upahnya memang tidak seberapa. Upah itu hanya pas untuk makan dua kali sehari dan bayar kost. Hidupnya cukup tertolong karena dia duda tanpa anak yang merepotkan hidupnya.
Kesialan-kesialan itu terjadi setelah kontrakannya digusur. Sudah hampir dua minggu berlalu dan dia belum menemukan tempat tinggal. Dia kadang hanya merasa beruntung karena bisa pura-pura menjadi orang sholeh demi bisa numpang tidur di masjid-masjid yang dia temui di dekat tempat proyek. Sekarang, setelah menumpang beberapa hari di masjid, aktingnya tidak cukup mahir untuk menutupi karakter aslinya. Suatu pagi yang gerah, takmir masjid menemukan Karman teler setelah semalaman dia menenggak ciu murahan pemberian mandornya. Hari itu juga dia diusir dari masjid dengan badan yang masih oleng, lengkap dengan isi kepalanya yang ruwet. Sekarang dia harus mencari tempat tinggal baru. Dia tidak peduli bagaimana bentuknya, selama harganya murah.
Dan siang yang terik ini, Karman sudah tersesat di sebuah kamar mandi busuk setelah hampir dua jam dia tidak menemukan sudut yang sepi untuk membuang isi kandung kemihnya.
“Anjing, bau tai!” Karman berkali-kali mengumpat. Jakarta baginya sekarang adalah kesialan-kesialan yang menghantui hidupnya, termasuk WC yang sekarang terpaksa dimasukinya. Diam-diam dia memaki mandor proyek yang memindahkannya di daerah seperti ini.
“Di deket sana banyak cewek-cewek mangkal. Lu bisa sekalian sambal jalan, Man,” perkataan mandornya teriang di kepalanya. Perkataan mandornya itu dijawabnya dengan makian—tentu saja dalam hati. Karman sadar, jika dia sebentar saja kelepasan mengeluarkan umpatan binatang dari mulutnya, dia bisa saja dipecat.
Kata-kata si mandornya itu mungkin saja bisa menenangkan hati Karman andaikan dia sedikit saja menaikkan upahnya. Sejujurnya–dia tentu ingin juga main dengan perempuan lagi seperti delapan bulan lalu. Tentu saja. Setelah menjadi duda lima belas tahun lalu, hidup baginya tak begitu mudah-mudah amat. Tentu dia ingin seperti dulu–dengan Inah, mantan istrinya atau dengan mantan kekasih yang kembali ke pelukan suaminya–bertempur semalaman di atas ranjang. Hanya sekarang keadaannya lain. Selain karena statusnya, keinginan perutnya sudah tak bisa diajak berbagi prioritas karena upahnya yang minimalis.
Pagi hari sebelumnya, dia bertemu dengan seorang pemuda brewok ketika dia sedang makannasi uduk di kawasan Pecinan Glodok. Pemuda itu seperti makhluk purba yang baru terdampar di area modern. Selain karena tubuhnya kurus dan wajahnya yang tak terawat, pemuda itu memiliki rambut ikal panjang sebahu. Pagi itu dia duduk di dekatnya. Piring nasi mereka berjejeran seperti orang kembar. Setelah melalui pembicaraan basa-basi dan membagi sebatang rokok, akhirnya Karman tahu nama pemuda purba itu.
“Jef,”
“Jefri?”
“Terserah lu, Bang.”
Karman terkekeh sebentar, lalu menelan asap rokoknya.
“Kerja di mana?”
“Gua?” Jef menunjuk ke dirinya sendiri, “Gua tuna wisma, Bang.”