“Satu-satunya bencana di dunia ini adalah lapar, Jef. Kalo perut lu udah kenyang, sebagian hidup lu udah aman.”
“Emang gitu?” Jef bertanya dengan senyum sinis sambil menyesap rokoknya.
Karman meletakkan gelas kosong itu di atas meja. Sisa-sisa ampas kopi tandas di dasar gelas. Di keningnya, bulir-bulir keringat merocos seperti tetes-tetes gerimis. Waktu istirahatnya sebentar lagi usai. Malang karena Jef tiba-tiba muncul hanya membawa dua batang rokok yang kini hanya tersisa setengah di mulutnya sendiri. Bangsat macam apa yang mengganggu orang miskin sepertinya tanpa menyisakan sebatang rokok. Tapi bagaimanapun, dia akan sering bertemu Jef. Semenjak pertemuan tidak sengaja di warung kopi tempo lalu—kini mereka harus berbagi kamar dan akan sering bertemu. Sebenarnya kontrakan Haji Goni sudah penuh, tapi dasar Haji Goni, ketika tahu yang mengontrak hanya seorang laki-laki duda sepertinya, dia malah menawarkan kamar Jef untuknya.
“Elu ngekost di kamar anak gua aja. Kalo ngekost lebih murah.”
Awalnya Karman menduga anak Haji Goni sudah pindah atau meninggal, tapi dia begitu terkejut begitu melihat isi kamar yang penuh dengan barang dan juga seseorang yang sedang tidur siang di sana. Dan dia lebih terkejut karena pemuda yang sedang tidur siang itu adalah Jef, orang yang merekomendasikan kontrakan ini padanya.
“Gua pikir minggat lu, Jef. Ternyata molor,” Haji Goni baru saja akan menarik kaki anak lelakinya ketika Karman langsung menginterupsi.
“Loh, udah ada yang nempatin?” Karman bertanya dengan sisa keterkejutannya yang belum selesai.
“Itu anak gua. Elu tenang aja. Elu tinggal di mari, biar dia tidur di depan tipi,” Haji Goni diam sejenak, “enggak ada kontrakan lagi deket sini. Ntar gua kasih murah dah."
Karman sepakat dan hari itu juga Jef diusir dari kamarnya sendiri dan menempati ruang tengah dan tidur di sofa. Dan sekarang, Jef ada di depannya seolah-olah hidup tanpa beban. Dia terlalu sering tersenyum seperti akan masuk surga. Siang ini, dia datang ke tempatnya bekerja dengan muka setengah kusut. Katanya, dia sengaja datang hanya untuk memecahkan isi kepalanya yang buntu. Buntu dan saking buntunya sampai mampet.
Jakarta memang membuat segalanya menjadi mampet. Pikiran mampet, jalanan mampet, duit mampet, perut mampet, got mampet dan mampet-mampet lainnya. Sekarang satu-satunya benda yang tidak bisa mampet adalah bising kendaran di jalan yang bikin macet. Atau mungkin isi kepala Jef yang sudah saking mampetnya bisa membuat Jakarta tenggelam.
“Abang udah kenyang, kan?”
“Setelah kenyang enaknya molor.”
“Percuma. Lagian bentar lagi lu angkat-angkat semen, Bang.”
Karman memandang ke arah bangunan tinggi yang berjarak hanya sepuluh meter dari matanya.. Sebentar saja dia sudah membayangkan bagaimana mengangkat semen, menata satu demi satu batu bata dan mendengar teriakan mandor selama enam jam. Ah, brengsek sekali. Hari ini dia bahkan harus lembur.
“Gua mau minggat dari rumah.”
Karman tak bereaksi terlalu banyak. Dia sejujurnya tak terlalu ambil pusing dengan pemuda di depannya. Jef memang manusia tidak berguna, tapi hidupnya bisa beruntung. Saban hari yang dilakukannya hanya nongkong di warung kopi dan mengobrol ngalor ngidul dengan pemilik warkop. Konon dia tergila-gila dengan anak pemilik warung kopi itu.
“Menurut lu gimana, Bang?”
Karman menenggak sisa air putih di depannya. Yang ada di kepalanya sekarang adalah bagaimana menuntaskan hari ini dengan sedikit lebih berani. Dan Jef–si manusia brewok itu–kenapa hari ini mengganggu sekali.