Malam yang gelap dan dingin ini masih membuat Hora bergidik ngeri. Meskipun ia sudah menjalani pelatihan sebagai Penyinar Malam selama tiga tahun, pria kurus dengan kelopak mata cekung itu tetap merinding karena malam ini adalah kali pertama ia bertugas langsung di jalanan Sandyaloka. Di kanan dan kirinya terdapat rumah-rumah yang berpijar di balik rimbunnya pepohonan. Lampu-lampu yang bersinar tak menghilangkan kesan kawasan ini layaknya kota mati.
Seluruh kota di Sandyaloka memanglah seperti kota mati setelah matahari terlelap. Semua orang tak diperbolehkan keluar dari sarangnya. Hanya ada para Penyinar Malam yang selalu diturunkan untuk menjaga jalannya waktu malam. Golek yang bersandar di balik kemudi otonya itu memperhatikan juniornya itu gugup dan keringatnya tak henti-hentinya mengucur menembus udara malam yang merembet menusuk.
"Malam ini adalah awal nak," ujar Golek santai. "Mimpi terburuk yang pernah kau alami bahkan tidak ada seujung jari dari apa yang akan kita hadapi, jadi mulailah terbiasa," tutur Golek pada pemuda disebelahnya setengah melirik.
Golek adalah pria paruh baya dengan wajah penuh kerut dan rambut menutupi setengah wajahnya. Kerutnya yang pasti memiliki banyak pengalaman sehingga rambut lebat di sekitar rahangnya itu tak mampu menutupi kebanggaannya. Seragam hitam dan kelabunya membuat badan tegap dan agak gempalnya itu terlihat seperti bongkahan batu yang siap meremukkan siapapun yang ia hadapi.
Agaknya itu membuat Hora merasa lebih aman ditugaskan dengan pria yang baru dikenalnya ini dan dengan ketenangan yang mengerikan, pria gagah itu mengemudikan kendaraan besi bajanya di jalanan kota Dahan yang sepi sunyi. Mengintai dan siap menerkam para Rerauk yang menebar teror sejak berabad yang lalu.
Hora sendiri baru saja dilantik pekan yang lalu, ia masih tak percaya dapat menyelesaikannya. Pelatihan-pelatihan berat sudah ia lalui dan kini tiba saatnya ia menginjakkan kaki di dunia nyata. Tak sebanding pula pikirnya. Dunia yang ia tinggali ini benar-benar sudah terkutuk. Namun dengan keberanian yang dipaksakan dan motivasi yang ia tumbuhkan, pemuda ini percaya akan mampu melewatinya seperti tantangan-tantangan lain yang pernah ia jalani.
Dengan mulut yang sulit berucap, Hora berkata pada seniornya. "A... Aku tidak pernah menyangka malam hari akan menjadi sedingin ini," ucapnya setelah kemudian menelan kekosongan di mulutnya.
"Jika kau ingin aku menghangatkanmu, maaf nak, aku tidak bersedia," ucap Golek ketus. "Maaf saja ya kalau di sini tidak sehangat dan senyaman saat kau di Sekolah dulu." Lanjutnya dengan sedikit menyindir.
Nyaman katanya? Tidur beralaskan bambu dengan hanya obor sebagai penerangan dan segala peraturan yang mengekang tidaklah nyaman pikir Hora. Masih sangat lekat pula diingatannya sewaktu dirinya harus bertarung dengan babi hutan demi memperebutkan sepotong roti.
Sebenarnya, kali pertama Golek tugas lapangan juga tak kalah pengecutnya dengan Hora. Pada zaman itu penerangan malam tak sebaik sekarang. Setiap kota masih dikelilingi oleh hutan-hutan dan kebun-kebun. Dan saat menyusuri kota dan desa yang menghitam, ia merasa jantungnya ingin meledak. Saat menyusuri kelamnya malam pikirannya pun meleleh. Pikirannya kalut menerka apakah ia akan mati malam itu juga atau berakhir di rumah sakit jiwa. Hingga akhirnya ia pun sadar tak ada pilihan lain selain melawan, tak ada pilihan lain selain bertahan.
"Memiliki rasa takut itu wajar, itu artinya kau masih waras. Tapi ketakutan berlebih akan membuatmu tidak waras dan terlampau berani juga merupakan tindakan yang tidak waras."
Hora berpikir omongan Golek barusan tak membantunya sama sekali.
"Kita hidup di dunia yang terkutuk, dunia yang diisi oleh kegelapan. Dan kita diberikan Karunia untuk memberikan cahaya di dalamnya," lanjut pria gempal tersebut.