Buku-buku berserakan di lantai dan halaman demi halamannya membalik tertiup angin. Terlihat cahaya keemasan mengintip dari balik jendela diikuti dengan tirai tipis yang menunjukkan tariannya dengan gemulai, menggoda seorang bocah yang terkapar asyik membolak-balik tiap halaman dari buku yang tengah ia baca. Tenggelam dalam tiap ribuan kata-kata.
Sindung adalah seorang remaja laki-laki dengan badan yang tidak kurus dan juga tidak gemuk, rambutnya hitam dan tak beraturan layaknya sarang burung prenjak dengan warna hitam keabu-abuan. Matanya terlihat malas seakan baru bangun dari tidur yang panjang.
Bola matanya yang mengkilap seperti batu kecubung wulung membelalak untuk menyapu tiap lembar halaman. Judulnya adalah "Sejarah Penyinar Malam" ditulis dengan baik oleh Naga Nanala. Buku yang cukup menarik pikirnya. Walaupun ia tak begitu suka dengan para Penyinar Malam.
Bagi Sindung, para Penyinar Malam hanyalah sekelompok orang-orang yang arogan. Selalu membanggakan diri mereka dengan kelebihan dan hak istimewa yang mereka miliki. Banyak sebagian dari mereka yang hanya memanfaatkan statusnya untuk sekadar mendapatkan keuntungan pribadi.
Nyatanya, hidup di Sandyaloka tetaplah merana. Masyarakat tak juga terbebas oleh kelambu hitam. Tak terbebas oleh adanya belenggu ketakutan. Banyak malam malam yang menelan korban dan kejahatan tak dapat dikekang. Tadi pagi, ia baru saja membaca berita bahwa seorang Penyinar Malam telah tewas di pinggiran hutan kota Dahan, tepatnya di Desa Antah. Desa di mana ia bertempat tinggal. Bahkan mereka tak dapat melindungi diri mereka sendiri benaknya.
Mungkin para Rerauk itu memang diciptakan untuk membasmi monster-monster yang sebenarnya. Jika tidak, orang-orang itu pasti lebih kejam seratus kali lipat. Bagi bocah itu, kekuatan yang besar hanya akan mendatangkan sebuah malapetaka. Namun, itulah konsekuensi hidup di dunia ini. Kau berdiri di puncak atau kau menjadi orang yang tertimbun di dasar gunung. Meskipun dengan cara cara kotor sekalipun.
Saat bocah itu tengah terpaku dengan bacaannya. Terdengar suara langkah ringan yang kian mendekat. Pria tua berdiri tepat di pintu dan melongok ke tempat Sindung merebahkan diri. Rambutnya seputih awan dan kerutan-kerutan di wajahnya seperti membentuk aliran sungai. Badannya kurus seperti tulang yang dilapisi kulit bergelambir dan keriput. Berjalan agak membungkuk dengan sebilah tongkat sepanjang setengah badannya yang menopang ia berdiri.
"Hei, bocah. Belum selesai juga kamu membacanya?" tanya pria tua pada bocah itu.
Seketika anak itu memalingkan pandangannya. Dilihatnya pria tua yang berdiri dibelakangnya. "Iya kek. Masih belum selesai." jawabnya sambil kembali memelototi buku yang tengah ia baca.
"Kamu sudah di sini selama 5 jam tahu? kamu bawa saja dan baca di rumah sana."
"Kalau baca di rumah tidak seru. aku lebih senang membaca di sini, lebih tenang." jawabnya sembari menggoyangkan kaki kirinya yang bertumpu pada kaki satunya dengan mata masih berfokus pada buku tua itu.