Rumah sederhana itu sudah mulai terlihat lapuk dan atapnya mulai ditumbuhi lumut dengan cat tembok mengelupas meninggalkan kesan yang suram. Dikelilingi dengan beberapa pohon yang menghalangi jalan masuk sinar matahari sehingga memberikan kesan teduh dan juga gelap. Rerumputan liar yang sudah tumbuh agak tinggi dengan bebatuan kecil di sekitar halaman menjadikan tempat itu semakin terlihat terbengkalai.
Ingin sekali Sindung meninggalkan rumahnya tersebut, namun seberapa buruk kenangan yang terukir di rumah ini. Bangunan tua itu adalah peninggalan mendiang Ibunya yang juga menyimpan banyak kenangan baik.
Dibukanya pintu kayu yang sudah reyot itu dan memasuki rumah yang gelap dan sunyi. Meski di luar terlihat seperti tak terawat, bagian dalam rumah ini cukup rapi dengan berbagai macam perabotan tua di dalamnya. Lantainya terbuat dari semen dan hanya dilapisi kertas berwarna kuning muda dengan motif-motif persegi di atasnya.
Ketika lampu-lampu sudah dinyalakan, rumah ini agak sedikit hidup dengan cahaya yang menerangi seluruh ruangan. Ia bergegas pergi untuk membersihkan tubuhnya sebelum hari makin gelap dan karena tubuhnya sudah penuh keringat lantaran cuaca hari ini sangat panas.
Sindung hanya tinggal sendiri di rumah sederhana ini, orang tuanya sudah meninggal lima tahun lalu dan tak punya keluarga lain karena ibunya yang sebatang kara, sementara keluarga ayahnya sudah memutuskan hubungan. Selama lima tahun Sindung sudah terbiasa hidup sendiri dan akan terus begitu pikirnya. Baginya, memiliki ikatan dengan orang lain hanya akan mendatangkan banyak masalah.
Wang!! Wang!! Wang!! Wang!!
Tiba-tiba raungan suara alarm sandekala berbunyi, menandakan bahwa sebentar lagi matahari terbenam dan untungnya tepat sesaat setelah Sindung menyingkirkan semua debu-debu dari tubuhnya. Semua pintu dan jendela sudah ia tutup rapat-rapat, jangan sampai ada Rerauk yang menerobos masuk. Walau terlihat santai, sebenarnya ia cukup khawatir juga dengan kejadian semalam. Sudah lama tidak ada Penyinar Malam yang tewas akibat serangan Rerauk.
Jam sudah menunjukkan pukul 18.10 dan acara Malam Mencekam sebentar lagi di mulai. Sebuah tayangan televisi yang menyajikan liputan langsung saat para Penyinar Malam sedang berpatroli atau melakukan misi-misi khusus ini dibuat demi memberikan edukasi dan informasi mengenai tugas-tugas para Penyinar Malam dan bahaya para Rerauk.
Acara ini sudah berjalan selama 30 tahun dan menjadi tontonan wajib bagi para penduduk Sandyaloka. Meski kadang banyak ditemukan adegan kekerasan, anak-anak tetap dibiarkan menonton tayangan ini. Semua itu semata-mata untuk mengenalkan sedini mungkin bahaya para Rerauk. Sebut saja episode Rumah Pohon, Pencarian Anak-Anak di Desa Bingkai, Misteri Danau Sembilan dan masih banyak lagi.
Jika tidak ada kasus-kasus yang terjadi, biasanya mereka hanya melakukan patroli kecil-kecilan di kawasan Ibukota. Dipandu oleh Bolon Batusiar sebagai pemandu acara dan Kapten Brata Brajasena sebagai pemimpin patroli. Mereka ditemani dengan beberapa anggota yang siap menyisir sela-sela kota seperti rombongan serigala yang tengah mencari mangsa.
Melihat kejadian baru-baru ini, bukan tidak mungkin Kapten Liwan Handipe akan muncul di acara ini selanjutnya dan menyelidiki apa penyebab anak buahnya meninggal dengan tragis. Jika hal itu terjadi, sudah pasti akan menjadi bahan obrolan orang-orang desa selama berhari-hari. Anak-anak hingga orang dewasa pasti tak kenal lelah untuk membahasnya.
Di tengah kota Mentaria kini tayangan Malam Mencekam sedang disiarkan secara langsung. Warna merah dengan aksen tetesan darah sebagai desain judul membuat program televisi itu semakin terlihat menakutkan. Bolon Batusiar muncul dari balik kepulan asap dengan setelan serba hitamnya secara dramatis, diiringi dengan dentuman musik piano gaya klasik yang semakin membuat bulu kuduk merinding.