Dua jarum besar berwarna keemasan, tampak sewarna dengan keseluruhan antarmuka jam tangan pada pergelangan maskulin.
“Jam tiga lewat dua puluh, Hari Rabu, kenapa lebih sepi dari sore biasanya?” seorang laki-laki mengesan situasi empat lapangan basket outdoor dari dalam mobil limousine warna kuning emas.
Dia turun dari mobil, memandang sepasang pintu kaca sebuah kantor di hadapannya. Tidak ada bouncer yang menyambut mau pun beradu kekerenan jambang dan kumis dengannya. Dia menuju pintu kantor itu. Embusan angin sedikit menggoyang bagian belakang dan samping kanan blazzer putihnya, sedangkan kacamata hitamnya tetap tenang mengawal arah pandangannya.
Dia masuk, mendapati bangku depan yang sama sepi dengan apa saja yang empuk dan nyaman diduduki dalam ruang depan itu, menyisakan satu air mancur kecil—bergaya putih marmer— yang gemericiknya mengisi sela keheningan—di sebelah banner promosi permainan basket.
Dia menyimpang ke kiri, menyusuri koridor, melewati satu pintu di sebelah kanannya dan dua pintu di sebelah kirinya. Lalu sampai di ruangan kosong menuju dua buah tangga. Langkahnya terhenti. Meninjau sekelilingnya, memindai setiap kepala berhelm dengan visor hitam sewarna dengan seragam mereka—belasan orang—yang menodongkan senjata laras pendek tertuju kepadanya, menguncinya di ruang ruangan.
“What the...?!” kesannya laki-laki berstelan blazzer putih, sedangkan satuan regu bersenjata itu kompak mempersempit ruang geraknya.
“Angkat tangan dan berlutut!” perintah salah satu pasukan dengan tanda buff merah putih di lengan kanan—yang tidak tidak ada pada setiap personel lain.
Dua orang personel memborgol kedua pergelangan tangan satu-satunya terget itu tanpa perlawanan.
“Skenario yang hebat, sampai kamu tidak mengantisipasi waktu langkah mati. Sial sekali kamu hari ini, ya,” ejek personel yang punya buff merah putih di lengan kanan.
Laki-laki berstelan blazzer putih tersenyum ironis. “Menurut anda, apa saya tampak terkejut?” balasnya sewaktu borgol tebal dan berat mulai membebani tengkuknya.
“Seharusnya kamu menyesal, Arex.”
“Tidak seperti itu, Jendral Mursar Hagean. Anda mengikuti pertimbangan yang salah.”
Mursar melepas paksa kacamata hitam dari muka Arex, lalu menjatuhkannya ke bawah dengan asal. “Tidak ada pertimbangan apa pun dengan kamu.”
“Anda yakin?”
“Tunggu!” Terdengar oleh mereka suara laki-laki dari arah masuk menuju ruang itu tanpa memengaruhi sikap dan perhatian tim penyergap, kecuali jendral yang sempat membuat bicaraan. Mursar memperhatikan kehadiran sepasang anak muda yang dia pikir tidak terkesan berada di pihaknya mau pun Arex, dan tidak seharusnya mereka berdua membuat twist pada situasi seperti itu.
“Tunggu! Saya mohon beri orang itu pilihan!”
Ucapan yang Arex dengar itu membuatnya tersenyum.
“Ada urusan apa, anak muda? Ini bukan urusan yang bisa ditangguhkan,” tegas Mursar.
“Hai, Alter!” ucap Arex lantang, seolah dia mengenali tanpa perlu berbalik badan.
Mursar tampak dibingungkan untuk mengerti situasinya. “Apa mau kamu?” dengan nada keras menanyakan.
“Dia mengirim saya pesan, mengancam dengan nyawa teman saya! Dia menyandera teman saya di atap hotel Akemi dan memasang peledak dengan hitungan mundur!” Alter membalas dengan nada hampir sama keras, “waktu semakin habis kalau dia tidak dibebaskan secepatnya!”