Satu-satunya lapangan basket yang dibangun dalam satu bidang dengan hamparan rumput hijau, persis sebelah kiri gedung kantor yang judulnya dibuat besar nan diterangi lampu LED kekuningan sehingga terlihat dan cukup jelas dibaca: Community Center - Taman Industri Mukakuning, sedang dipakai sendiri seorang laki-laki yang kuning semi gradasi putih kulit tubuhnya bisa tabah melawan tusukan hawa dingin udara malam Batam, selain cukup yakin untuk tidak akan terpengaruh perasaan horor sekaligus melihat adanya penampakan dari rindang pohon-pohon jalanan sekitarnya.
Lagipula dua penerangan terpisah yang sejajar garis tengah lapangan berfungsi, mengamankan dia dari sudut gelap, juga menampakkan rambutnya yang ikal lebat dan berponi warna kemerahan. Dia yang semangat berlatih tanpa tim, posturnya cukup berpotensi untuk melakukan tip-off, dunk maupun alley-oop, selain kurang terlihat kuat jika melakukan block melawan dunk atau lane-up dari lawan yang bertubuh ideal, apalagi yang atletis. Kecuali dia menaikkan berat badan sekaligus membesarkan ototnya.
Sepertinya semua teknik dasar telah dia lakukan untuk melatih diri sendiri. Teknik terakhir, yang membuatnya ketagihan sendiri sampai terus mengulanginya akibat penasaran bagaimana jarak, waktu, garis sudut dan tinggi lompatan yang pertama sukses menghempas bola masuk rim dengan tangan kanan -bertenaga penuh sekuat dunk. Beberapa kali mengulangi, terus melakukannya meski masih gagal seperti percobaan kedua. Sampai akhirnya dia berhenti, menahan bara semangatnya karena menjadi sungkan ketika jam dunk-nya yang kesekian masih meleset itu memantul dan bergulir menuju sepasang sepatu seorang selain dia, ada di dalam lapangan mengambilkan bolanya.
Karena itu dia jadi gugup, dalam hatinya menimbang keyakinan dan keraguan tentang keaslian dan kenyataan perempuan itu, memastikan kalau bukan refleksi perasaan horor dari rindang pohon-pohon jalanan mau pun taman kantor di sebelah.
“Teknik sulit yang bagus," bukannya mengembalikan bola ke laki-laki itu dengan satu lemparan, tapi melangkah biasa, menghampiri seperti ingin mengembalikannya langsung.
Si pemain basket pikir, suara perempuan itu terdengar normal, cara berjalannya biasa masih terkait gravitasi.
"Enggak terganggu sama kehadiranku, kan? Aku lagi nunggu temen-temenku yang mau latihan di sini. Tapi mereka lama, sih! Padahal tadi bareng aja, aku bilang mau ke Aprilmarket dulu beliin minum. Tapi jadi aku duluan yang nyampe sini," ujarnya seperti sudah saling kenal.
Jadi keyakinan si pemain basket semakin membenarkan realitas perempuan itu, percaya kalau postur tubuhnya yang agak berisi, ujung dari rambut hitam lurus yang sebatas pinggang, wangi parfum dari dekat seperti permen karet rasa anggur, dan wajahnya yang lebih manis dari gula tanpa make-up tebal itu natural, tanpa unsur kesengajaan apalagi godaan. Jelas perempuan itu bukan penampakan. Serah terima bola jadi dilakukan, lalu si pemain basket lebih dulu mengulurkan jabat tangan perkenalan.
“Makasih, ya. Aku Alter.”
Akhirnya Alter bisa mengukur suhu genggaman tangan perempuan itu, cukup menghangatkan, menghalau segala hawa dingin yang Alter rasakan.
“Siapa?” memastikan, takut salah menyebut namanya karena perempuan itu kurang familiar mendengarnya.
“Alter.”
“Oh! Trea. Baru kali ini aku tahu kamu di sini. Sebelumnya?"
“Baru pertama aku pakai court ini."
"Oh, ya? Dan teman mainmu?"
Alter menggeleng kepala. "Mungkin kamu yang pertama."
Trea dibuat tersenyum mendengarnya. “Oh, ya. Kita bisa jadi teman."
Karena suara dehem seseorang, perhatian mereka berdua teralihkan.
“Guys! Kalian ngaret banget, sih sumpah! Sengaja, ya bikin aku nunggu di sini sendirian? Mana lagi sepi begini. Untung ada Alter. Eh, ya, kalian kenalan, dong sama Alter."
Alter lihat, kelima laki-laki kenalan Trea itu seperti sebuah tim, tim inti yang mau latihan di situ.