Anna sudah sering berhadapan langsung dengan kepala sekolah.
Dia seorang murid teladan, penerima beasiswa tetap, memiliki banyak bakat, dan sering memenangkan perlombaan. Seperti biasa sang kepala sekolah, Pak Yunus, dengan wajah berseri-seri mempersilakan Anna duduk selayaknya tamu kehormatan.
Anna duduk di hadapan Pak Yunus dengan wajah tak kalah berseri-seri. Dia bisa merasakan angin berembus melalui jendela-jendela tinggi yang terbuka. Masih jam belajar mengajar, suasana tenang di luar terbawa sampai ke ruangan itu.
Anna menunggu kabar baik apa yang akan disampaikan oleh Pak Yunus.
“Kamu ingat sebentar lagi kita akan menghadapi ujian nasional?”
Tentu saja, Anna sudah menyiapkan diri menghadapi ujian satu itu. Namun, pikirnya pertemuan ini untuk pemberian selamat, bonus uang jajan, piagam, atau apalah, bukan membicarakan ujian nasional.
“Iya, Pak. Memangnya kenapa? Apa ada kaitannya dengan beasiswa untuk kuliah saya?” Sambil terkekeh, hingga kumis tebalnya bergoyang-goyang, Pak Yunus menggeleng. “Tidak, tidak. Bukan soal beasiswa. Ini soal program peer tutor. Kamu tahu, kan?”
Anna tahu. Peer tutor alias belajar bersama anak-anak berotak kurang pandai. Anna tidak bisa mengatakan kalimat itu dengan lantang karena bisa-bisa Pak Yunus kena serangan jantung. Seorang murid teladan seperti dirinya harus menjaga nama baik dan citra supersempurna. Dia sudah menghindar sejak lama karena program itu hanya membuang waktu berharganya. Dan Anna tahu maksud Pak Yunus memanggilnya sekarang.
Jadi, Anna berusaha menampilkan senyum termanisnya sebelum menjawab, “Oh iya, soal program peer tutor itu. Saya sudah sering dengar, Pak.”
Jangan bilang aku diminta menjadi tutor, batinnya.
“Nah, secara khusus Bapak meminta kamu menjadi tutor salah seorang teman sekelasmu,” jelas Pak Yunus.
Benar, kan? Pak Yunus pasti memintanya menjadi seorang tutor.
“Seingat saya program ini hanya untuk mereka yang mendaftar, Pak,” kata Anna mencoba membebaskan diri dari permintaan tersebut.
Pak Yunus menangkap ekspresi kaget Anna. “Itu benar.
Tapi kalau kamu ikutan, harusnya enggak masalah, dong?” Lagi, Anna berusaha tersenyum. “Wah, sayang sekali, Pak.
Sebetulnya saya mau aja, tapi jadwal belajar saya padat. Bapak ingat kan saya lagi persiapan juga buat dapet beasiswa kuliah dari pemerintah?”
“Itu, itu dia!” seru Pak Yunus, suaranya kian bersemangat.
“Daripada kamu belajar sendiri, pasti bosan, kan? Jadi apa salahnya belajar bareng temen sekelasmu?” Masalahnya Anna akan sangat terganggu. Siapa pun yang mendaftarkan diri dalam program ini pasti tidak berotak.
Percuma saja Anna membantu belajar. Hasilnya tidak akan berubah. Dia hanya buang-buang waktu pada akhirnya.
Tapi bagaimana Anna bisa menjelaskan alasan-alasan itu? Bisa-bisa reputasinya langsung hancur.
“Kami juga sudah mengalokasikan dana khusus untuk program ini.” Kata-kata Pak Yunus membuat Anna fokus kembali.
“Dana khusus?” Dia berusaha terlihat tidak begitu tertarik.
Tapi sebagai pihak yang pastinya tahu soal finansial para siswa, Pak Yunus bisa menangkap gelagat Anna.
“Uang jajan untuk tutor....” Anna memalingkan wajah untuk menyembunyikan seringainya. Dia menimbang-nimbang tawaran itu. Lalu dia kembali menoleh kepada Pak Yunus.
“Saya harus tutorin siapa, Pak?”