Anna & Bara

Falcon Publishing
Chapter #1

HARI PERTAMA ADALAH SEGALANYA

Semakin masuk ke dalam bus, napasnya semakin sesak. Tubuhnya bahkan terdorong hingga ke bagian belakang. Untung saja tubuh itu cukup tinggi, jadi dia masih mampu menggapai udara di antara barisan kepala-kepala. Bara tidak menyangka siswa pengguna bus sekolah seramai ini. Sampai hari terakhir program orientasi kemarin, dia memang masih diantar sopirnya menggunakan mobil pribadi. Lalu akhirnya dia memutuskan untuk memanfaatkan fasilitas sekolah.

Bus berwarna hijau dengan garis-garis emas di bagian badannya yang berdecit tiap beberapa ratus meter sekali guna menjemput para siswa SMA Winata Bhayangkara pada haltehalte yang telah ditentukan.

Ini anjuran sekolah, katanya agar murid-murid bisa bersosialisasi. Ya, bus ini punya keramaian yang tidak kunjung usai, bahkan Bara perlu berjalan ke jajaran paling belakang untuk mendapatkan kursi kosong.

Walau sayang, dalam keramaian seperti itu pun tetap tidak ada yang mengajaknya bicara. Bersosialisasi bukan kemampuan alaminya. Hingga akhirnya yang Bara bisa lakukan hanya mengamati.

Dari tempatnya duduk, Bara bisa melihat hampir keseluruhan isi bus. Dia membayangkan ruangan bus sekolah itu adalah kabin pesawat. Setiap penumpang duduk nyaman. Kemudian, dengan langkah kaki ringan, Bara mendekati setiap orang, menanyakan apakah ada sesuatu yang bisa dia bantu, walau itu sebatas mengencangkan sabuk pengaman.

Sedari kecil cita-citanya menjadi seorang pramugara. Tapi sayang, tampaknya cita-cita itu harus terkubur bersama keramaian bus ini.

Tetap saja Bara tidak bisa menahan senyum karena pikirannya itu.

Pada pemberhentian berikutnya, Bara menoleh ke pintu yang terbuka secara otomatis. Beberapa murid cewek masuk. Mereka berkerumun dan berdiri di koridor bus. Sebenarnya mereka bisa duduk di bangku yang masih kosong, tapi kebanyakan memilih mengobrol di tengah-tengah.

Kecuali seseorang yang mendekati Bara, lalu duduk di sebelah cowok itu. Bara mati kutu seketika karena saat itu dia masih memasang senyum. Tambah lagi, yang duduk itu seorang cewek.

“Ha-hai,” Setelah berusaha keras agar tidak terlihat aneh akibat senyum-senyum sendiri barusan, akhirnya Bara berhasil mengeluarkan suaranya. Dia membenarkan letak kacamata di puncak hidung berkali-kali dan menoleh ke samping.

Sayang, usahanya gagal karena perhatian cewek itu tertuju ke luar jendela yang menampilkan jalanan Ibu Kota dan pemandangan gedung-gedung tinggi. Bara bisa melihat jelas senyum cewek itu seakan-akan sedang mengagumi arsitektur kota.

Lihat selengkapnya