Anna mengejar langkah Rio dengan napas tersengal-sengal, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk mengekspresikan kegelisahannya.
"Mas, kamu marah ya sama aku?" Tanya Anna, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam, mencerminkan kegelisahannya yang mendalam terhadap hubungan mereka.
"Aku minta maaf sama sikap Papa kemarin."
"Aku harap kamu bisa ngertiin sikap Papa."
Rio menghentikan langkahnya tiba-tiba, ekspresinya gelap dan tegang saat Anna menyampaikan permintaan maafnya.
"Apa kamu paham maksud sikap Papa kamu kemarin sama aku?" tanya Rio dengan suara berat, matanya menatap tajam Anna.
"Kamu lupain aja lamaranku waktu itu ya."
"Maksud kamu?"
"Kenapa dibatalin Mas? Kamu udah gak sayang sama aku?"
"Aku sayang sama kamu, tapi emangnya kamu yakin kita bakalan bisa nikah?"
"Kenapa ngga Mas?" Balas Anna tajam.
"Kamu kenapa tiba-tiba ragu kayak gini?"
"Apa karena sikap Papa kemarin?"
"Papa emang kayak gitu, kamu gak perlu ambil serius sikap Papa sama kamu."
Terlihat jelas Anna masih ingin mempertahankan hubungannya dengan Rio.
"Kamu yakin bisa ikuti ajaranku?"
"Anna, keluarga kita sama-sama penganut yang kuat, aku rasa gak mungkin salah satu dari kita bisa mengalah."
"Kalau kita masih keukeuh maksain, itu sama aja aku udah jadi pria teregois."
"Kamu yakin bisa memeluk agama yang sama denganku?" Tanya Rio menatap serius Anna.
"Ta-tapi aku gak mau hubungan kita berakhir gara-gara masalah ini Mas," balas Anna menggenggam kuat tangan Rio.
"Aku sayang banget sama kamu."
"Masalah agama ... aku akan coba pelan-pelan," terang Anna mencoba meyakinkan Rio.
***
Anna duduk sendirian di pojokan kafe, membenamkan dirinya dalam alunan lembut piano yang memenuhi ruangan. Setiap nada membangkitkan perasaannya yang kacau, mengingatkannya pada pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikirannya.
Sambil menatap kosong ke arah jendela, Anna masih terperangkap dalam keraguannya sendiri, terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Kata-kata Rio terus bergema di benaknya, menciptakan kekacauan dalam hatinya yang sudah terlalu penuh dengan kebingungan.
Waktu terasa berjalan lambat, seolah-olah berhenti sejenak untuk memberi Anna waktu yang ia butuhkan untuk merenung. Namun, bahkan setelah beberapa saat berlalu, Anna masih belum bisa menemukan jawaban yang ia cari.
Ketika alunan piano berganti dengan suara adzan yang memanggil untuk sholat ashar, Anna semakin tenggelam dalam keheningan yang menyelimuti hatinya. Suara adzan itu seperti mengingatkannya pada keagungan Tuhan, namun juga menambahkan beban pada keraguannya yang sudah terlalu berat.
Anna memejamkan mata sejenak, mencoba mencari ketenangan di dalam dirinya sendiri, namun pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab terus menghantui pikirannya. Bagaimana ia bisa memutuskan apa yang terbaik untuknya dan untuk hubungannya dengan Rio? Hanya waktu yang akan bisa memberikan jawaban, dan Anna harus bersabar menunggu saat itu tiba.
***
Di tempat lain, Rio pun duduk sendirian di sudut kafe, pikirannya terombang-ambing dalam pertimbangan yang sama seperti Anna. Selain masalah agama, Rio juga merenungkan perbedaan kasta keluarga Anna yang begitu jauh dengan dirinya. Baginya, rasanya tidaklah pantas jika ia, yang berasal dari latar belakang yang sederhana, meminang Anna yang memiliki darah biru di keluarganya.
"Ya Allah, kenapa baru kepikiran sekarang sih kalau aku ini gak pantes buat Anna...."
"Woi!! Kenapa lu?" Tiba-tiba teman akrab Rio datang menghampiri.
"Kagak, gue lagi capek aja."
"Dih serius lu?"
" ... Gimana lu udah nemuin tempat strategi buat bisnis parfum kita?"
"Gak taulah,pusing gue," ketus Rio.
"Gimana sih lu? Kan tugas lu yang nyari tempat."
"Iya maksud gue, gue masih belum nemuin lokasinya," Balas Rio.
"Udah lu tenang aja, pokoknya lu tahu beres aja."
"Bener ya?"
"Iya."