Aku dan Surya berlari menuju halaman samping. Kulihat di sana ada Rian berdiri di samping Reno yang terduduk di atas tanah. Mereka berdua terdiam dengan wajah kaget. Pandangannya menghadap batuan semen berbentuk persegi panjang. Tempat yang sama seperti yang kubaca di kertas kuning lusuh tadi.
Entah mengapa, perasaanku mulai tidak enak. Aku mendekati Rian, kutepuk bahunya. Sontak dia tersentak dan menolehkan wajahnya menghadapku.
"Astaghfirullah Di," ucapnya sembari mengusap-usap dada. Mendengar teriakan Rian, Reno yang tadinya termenung juga tersadar dan melihatku.
"Kenapa toh Ren, yan?" Surya yang baru datang segera bertanya. Reno dan Rian saling berpandangan, wajah mereka mengisyaratkan sesuatu. Entah apa, aku tidak tahu.
"Kami tadi lihat mata," ucap Reno.
"Mata?" Aku dan Surya berucap bersamaan. Kami berpandangan dengan alis bertaut, heran.
"Iya mata Di, Sur. Kamu lihat di atas semen berbentuk persegi panjang itu. Di sudut sebelah kirinya terdapat lubang. Aku melihatnya di sana. Warnanya merah, persis seperti darah. Dengan pupil mata berwarna putih kecil. Dia melirik ke arahku. Kalau diingat-ingat sangat seram sekali."
"Sudah-sudah, sebaiknya kalian cerita di dalam saja. Jangan di sini." Aku mengusap tengkuk, tiba-tiba punggung terasa dingin. Entah darimana datangnya. Padahal matahari di atas sedang terang-terangnya.
"Iya, ayo masuk ke dalam saja. Ruang tamu juga sudah kubersihkan. Sambil duduk juga." Surya menuntun Reno dan Rian masuk. Aku berjalan di belakang mereka dengan punggung yang masih terasa dingin.
"Sstt."
Aku termangu, suara itu berasal dari belakangku. Sejenak aku ingin menoleh, tapi salah satu dari hati kecilku berkata kalau aku tidak boleh melakukannya.
"Sstt."
Bulu kudukku berdiri. Suara itu lagi padahal aku baru berjalan satu langkah. Surya, Reno dan Rian sudah tidak tampak batang hidungnya. Itu artinya, hanya tinggal aku seorang diri di sini.
Memutuskan pergi, aku berlari menyusul teman-temanku. Tanpa menoleh ke belakang.
***
"Jadi, tadi setelah Aku meletakkan kayu bekas patahan sama Reno. Ada yang manggil kami. Tapi manggilnya bukan nama Sur, Di. Manggilnya itu begini. Sst... sstt... begitu. Otomatis aku sama Reno noleh dong. Dan ternyata, gak ada orang sama sekali. Tapi, suara itu masih ada. Kami cariin dong asal suaranya." Rian memberikan isyarat pada Reno untuk menyambung ceritanya.
"Ck... kenapa gak kamu semuanya aja sih yang cerita," decih Reno tidak suka.
"Biar adil," jawab Rian sekenanya.
"Udah lanjut aja sih Ren. Kamu kan juga ada di tempat kejadian. Aku penasaran sama lanjutannya."
"Hhh... jadi, pas kami cari-cari tuh asal suara. Aku ngeliat benda bulan warna merah dengan lingkaran putih di tengahnya keluar dari lubang semen itu. Tahu kan yang tadi kita lihat." Surya mengangguk sementara aku diam saja.