PAGI yang masih sama seperti pagi kemarin. Pagi saat siswa dan siswi berseragam putih abu-abu mulai berdatangan memadati area sekolah, meskipun bekas rintikan hujan masih tersisa. Termasuk juga gadis berkulit putih pucat dengan rambut kecokelatan tergerai hingga bahu yang bertuliskan Aulia Veera di badge name seragamnya.
Gadis yang akrab disapa Veera oleh orang terdekatnya itu turun dari angkot dan memandang langit sambil berdecak.
“Masih hujan aja!” keluhnya sambil membuka payung yang selalu dibawanya.
Dia benci hujan. Karena hujan yang turut mengantar kepergiannya.
Dia benci hujan. Karena setiap kali hujan, dia selalu mengingatnya.
Setelah menutup payungnya, Veera melangkah di koridor sambil menepuk-nepuk rok abu-abunya yang terkena cipratan air becekan di jalan. Namun, baru juga beberapa langkah, Veera merasa ingin berbalik saja atau setidaknya memutar jalan agar dia tak perlu melewati area terlarang itu.
Tapi sepertinya itu tidak mungkin, karena nyatanya area itu tepat berada di depan kelasnya. Tak ada jalan lain lagi selain harus melewatinya.
Lebih dari satu semester menjadi murid di SMA Merpati, dia sudah mulai—terpaksa—terbiasa dengan pemandangan di area terlarang depannya ini: tepat di depan kelasnya akan ada tiga orang cowok yang selalu duduk di bangku koridor yang menghadap lapangan setiap pagi, jam istirahat dan pulang sekolah. Mereka adalah cowok-cowok populer di sekolah yang duduk di bangku kelas dua belas, tingkat tertinggi di sekolah. Sedangkan, Veera sendiri masih duduk di kelas paling junior di sekolah.
Pertama-tama, mari berkenalan dengan ketiga Arjuna sekolah penghuni bangku tongkrongan itu satu per satu.
Asyraf adalah si ketua geng yang nyaris sempurna dengan kepintaran dan ketampanannya. Gayanya yang cool sukses membuat cewek-cewek semakin gemas dengannya. Karakter dingin dan misterius seperti Asyraf ini memang selalu jadi idola para gadis muda. Kekurangannya, dia hanya kurang senyum dan kurang ramah.
Rico, cowok pembuat onar di kelas yang punya simpanan pacar di setiap tikungan. Atlet catur yang sering memenangkan kejuaraan. Dengan pembawaannya yang santai, dia membuat cewek-cewek selalu merasa nyaman di dekatnya. Tak peduli harus jadi pacar ke berapa.
Kemudian yang terakhir, Evan. Si cowok kalem, hangat, dan dewasa. Pemilik senyuman maut, berlesung pipi, dan baik hati. Namun, nasib percintaannya selalu buruk. Dia tak pernah berhasil memiliki kekasih, karena orang yang dicintainya selalu telah lebih dulu dimiliki oleh orang lain. Penyuka Rumput Tetangga, itu julukan yang diberikan Rico padanya.
Mereka bertiga ditemukan oleh takdir ketika di awal masuk sekolah, ketiganya secara tidak sengaja memarkirkan motor mereka bersebelahan. Motor dengan merek dan warna yang sama. Sejak hari itu, mereka bertiga menjadi bersahabat.
Lalu konon katanya, kelas yang sekarang ditempati Veera adalah bekas kelas si kepala geng sewaktu kelas sepuluh. Jadi, sampai sekarang mereka masih menjadikan bangku di depan kelas Veera sebagai tempat tongkrongan mereka.
Dan pagi ini, sama seperti pagi-pagi yang kemarin, pemandangan yang membuat Veera jengah adalah ketika Asyraf, si kepala geng yang dingin, sombong, ketus, dan irit senyum itu sedang di kelilingi cewek-cewek kecentilan yang lagi tebar pesona. Ketawa-ketiwi heboh berasa seperti dayang-dayang yang sedang mengelilingi rajanya. Padahal hanya respons ogah-ogahan yang mereka dapatkan dari Asyraf.
Tidak hanya Asyraf, kedua cowok populer lainnya—Rico dan Evan—juga sedang menikmati hal sama: dikelilingi gadis cantik yang punya hormon genit kebanyakan. Namun di antara mereka bertiga, Asyraf menjadi cowok yang memiliki penggemar paling banyak. Dan, di antara penggemarnya itu, hanya cewek-cewek populer, cantik, dan kebal dengan penolakan yang berani menyapa si dingin Asyraf.
Sisanya, hanya mampu senyum-senyum dan mengaguminya dari jauh.
Kenapa sebelumnya Veera menyebut tempat tongkrongan cowok-cowok yang justru diidamkan semua cewek di sekolah sebagai area terlarang? Alasannya hanya satu, karena di sana ada Asyraf. Untuk sebuah alasan, Veera sangat membenci Asyraf. Untuk sebuah alasan, Veera merasa sangat marah kepada Asyraf. Maka, sebisa mungkin dia tidak ingin melihat Asyraf apalagi berdekatan dengan Asyraf.
Hanya dialah dan Tuhan yang tahu apa alasan itu. “Eh! Tumben banget berangkat pagi.”
Veera melirik sinis. Seorang gadis bermata abu-abu keturunan Inggris memanggilnya dari samping lalu menggandeng lengannya manja. Itu Angie, satu-satunya cewek yang sejak MOS betah dekat dengannya di saat semua temannya mundur perlahan karena sikap cuek dan judes Veera yang kelewat batas.
“Makin siang makin deres,” jawab Veera. Angie tertawa geli. “Masih aja nggak suka hujan?” “You know me so well, lah.”
“No, i don’t know. Gue bahkan nggak tau apa alasan lo benci hujan.”
Satu lagi. Selain Asyraf, hujan juga adalah salah satu yang Veera benci. Sebisa mungkin dia selalu menghindari hujan, dengan selalu membawa payung di mana pun dan kapan pun.
Lagi-lagi, hanya Veera dan Tuhan yang tahu apa alasan itu semua.
“Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang,” jawab Veera sekenanya.
Seperti biasa, Angie yang selalu tak pernah bisa menyelami Veera lebih dalam, akhirnya hanya bisa menghela napasnya panjang. Semakin kuat Angie mencoba mengorek hati Veera, semakin rapat Veera menutup pintu hatinya.
Belum juga napasnya selesai terbuang seluruhnya, tiba-tiba gadis cantik itu menahan tangan Veera sehingga membuat langkah mereka terhenti di tengah koridor. “Veer, ada apaan lagi tuh?”
Veera mendengus malas ketika memandang ke arah tempat yang ditunjuk Angie. Murid-murid sekolah kini telah mengerumuni bangku yang menjadi tongkrongan ketiga cowok populer itu, seperti pasukan semut. Veera pun sudah langsung bisa menebak apa yang sedang terjadi di sana.
Sama seperti hari-hari biasanya, selalu seperti ini. Dan sama seperti hari-hari biasanya, dia selalu benci melihat ini.
“Ke sana yuk, Veer,” ajak Angie sambil menarik tangan Veera, namun Veera menahannya.
“Ngapain sih? Males ah.”
“Ih, nanti kita ketinggalan gossip tau!”
Veera memutar matanya. “Ya udah lo aja sana. Palingan juga ada cewek yang ditolak mentah-mentah lagi sama mereka. Diejek sampai nangis kayak si Ebi waktu itu. Bosen gue!”
Ebi, Veera teringat lagi dengan Ebi. Cewek super biasa yang sudah sejak lama menjadi pengagum rahasia Asyraf itu pernah suatu hari nekat mengungkapkan cintanya pada Asyraf. Melihat penampilan Ebi yang jauh dari standar tipe cewek Asyraf, kedua temannya, Evan dan Rico langsung mengejek Ebi yang ditolak Asyraf di depan murid-murid yang menonton mereka di koridor.
Sejak saat itulah, rasa benci kepada Asyraf semakin menjadi di hati Veera.